Skip to main content

Sejarah Hubungan Kesultanan Sumbawa Dengan Kesultanan Banjar

Sejarah Hubungan Kesultanan Sumbawa Dengan Kesultanan Banjar (foto:Google)

Sejak masa kerajaan dahulu atau sekitar abad ke-17, penduduk yang mendiami suatu daerah telah berbaur dengan daerah lain. Bugis, Makassar, Bali, Lombok dan sebagainya. Oleh karena itu tidak asing bagi suatu daerah termasuk di Sumbawa, kita telah mengenal berbagai suku yang ada di dalamnya. Termasuk di antarnaya Banjar.

Tapi apakah suku ini memiliki hubungan dengan suku Sumbawa? tentu membutuhkan penalaran sejarah untuk mengungkapnya. Berikut beberapa catatan kecil tentang hubungan kesultanan Sumbawa dengan kesultanan Banjar.

Periode Pertama

Menurut hikayat Banjar dan Kotawaringin, pada masa pemerintahan sultan Banjar, sultan Rakyatullah (1660-1663) sempat menjalin hubungan bilateral dengan kerajaan Selaparang melalui ikatan perkawinan Raden Subangsa (Raden Marabut) bin pangeran Martasinga keturunan sultan Hidayatullah I bin sultan Rahmatullah yang menikah dengan Mas Surabaya puteri Selaparang.

Hasil perkawinan tersebut memperoleh keturunan yakni raden Mataram. Mereka kemudian menetap di daerah Taliwang yang bernama karang Banjar. Sepeninggal Mas Surabaya, raden Mataram kembali ke Selaparang, sedangkan raden Subangsa kembali menikah dengan Dewa Mas Penghulu (Putri Raja Selaparang) dari permaisuri Sumbawa. Hingga selanjutnya menetap di Sumbawa dengan gelar pangeran Taliwang (Datu Taliwang).

Dari perkawinan ini lahir seorang putra bernama Dewa Mas Bantan yang kemudian dikenal dengan nama Dewa Mas Bantan Datu Loka Sultan Harunnurrasyid I (1675-1702). Harunnurrasyid ini oleh masyarakat Sumbawa dikenal dengan Sultan Sumbawa III.

Selanjutnya Dewa mas bantan menikah dengan putri sultan Goa, Karaeng Meppaiyo yang bernama Halimah Daeng Tomy Karaeng Tannisanga. Buah perkawinan tersebut memperoleh keturunan bernama Mas Palembang Dewa Madja Djereweh, Mas Madinah Sultan Djalaluddin I, Dewa Iya Datu Balasao, Desa Isa Kareng Barong Patola.

Kemudian sultan Banjar mengirim lagi utusan pangeran Singamarta, seorang menteri besar ke kerajaan Bima pada tahun 1701. Di kesultanan bima pangeran Singamarta menikahi Puteri dari Adipati Thopati Tlolouang.

Periode Kedua

Setelah beberapa dekade kemudian, datang lagi ke Taliwang Gusti Amin yang merupakan keturunan dari pangeran Jaya Kusuma. Gusti Amin sendiri memiliki kedekatan yang sangat kuat dengan Dewa Mas Mappasusung Datu Poro Putera Dewa Madja Djereweh yang kebetulan saat itu menjadi Riwabatang Datu Taliwang karena terjadi kekosongan pemimpin. Saat itu Datu Taliwang sedang berperang ke Selaparang. Semasa Dewa Mas Mappasusung Datu Poro diangkat menjadi SUltan Sumbawa dengan gelar Sultan Muhammad Kaharuddin I. Gusti Amin kemudian diangkat menjadi Datu Taliwang.

Periode Ketiga

Periodesasi ketiga kedatangan bangsawan Banjar ke Taliwang adalah saat Gusti Amin menjadi Datu Taliwang. Dimana Gusti Mesir Abdurrahman dan Gusti Aceh yang keduanya merupakan putera dari pangeran Datu Aria atau cucu dari sultan Banjar Tahmidullah menuju Taliwang.

Gusti Mesir Abdurrahman dinikahkan dengan Karaeng Bontomasugi Datu Ponto Paja, anak tiri dari sultan Muhammad Kaharuddin I (puteri permaisuri I. Sugiratu Karaeng Bonto Parang dengan suami pertama keturunan bangsawan Goa Ahmad Daeng Mamarro Karaeng Bbontolangkasa).

Sepeninggal I. Sugiratu Karaeng Bonto Parang Sultanah Siti Aisyah, Tana Samawa bersepakat mengangkat Gusti Mesir Abdurrahman yang telah diberi gelar Adat Datu, Datu pangeran sebagai Sultan Sumbawa dengan gelar  Yang Mulia Dewa Masmawa Sultan Muhammad Djalaluddin Syah II (1762-1765) sebagai sultan Sumbawa ke-9.

Setelah pengangkatan Gusti Mesir Abdurrahman Anom, maka saudara beliau Gusti Aceh diangkat sebagai Datu Taliwang. Kemudian sepeninggal Gusti Aceh Sebagai Datu Taliwang, barulah diangkat dari keturunan lansung Dinasti Dewa Dalam Bawa yakni Dewa Mappaconga Mustafa yang menjadi Datu Taliwang. Dewa Mappaconga kemudian menjadi Riwa Batang dari Sultan Sumbawa, Sultan Machmud yang diangkat sebagai sultan pada usia 9 tahun.

Sultan Machmud menikah dengan puteri ratu Laiya (adik dari Gusti bagus yang juga cucu dari sultan Banjar, sultan Tahmidullah II). Hasil perkawinan tersebut memperoleh dua orang anak, masing-masing bernama Lalu Muhamad dan Lala Amatollah. Lalu Muhammad kemudian diangkat sebagai sultan Sumbawa menggantikan Sultanah Safiatuddin Daeng Masiki bernama sultan Muhammad Kaharuddin II.

Saat diangkat menjadi sultan, beliau bergelar Yang Mulia Dewa Masmawa Sultan Muhammad Kaharuddin II. Dari sultan inilah kemudian melahirkan sultan Amrullah, sultan Djalaluddin III, sultan Kaharuddin III dan terakhir sultan Kaharuddin IV yang penobatannya dilakukan pada 5 April 2011 lalu.

http://kesultananbanjar.com

Comments

  1. nah tuh, maka jika sekarang orang Banjar dengan orang Sumbawa nggak akur bersatu padu teh kebangetan lah wong sejarahnya saja bahwa kesultanan keduanya pernah bersatu padu...iya kan mang?

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Asal Mula Batu Balo

Batu Balo adalah cerita rakyat yang berkembang di tengah masyarakat Desa Empang Bawa, Kecamatan Empang, Sumbawa. Pada zaman dulu tersebutlah seorang raja bernama Raja Kepe. Raja Kepe memiliki seorang putri yang sangat cantik bernama Dara Belang. Tibalah suatu hari, sang raja memiliki keinginan yang sangat kuat untuk menikahkan putrinya dengan seorang raja asal negeri Garegat bernama Balo Kuntung. Hal ini dilakukan karena Raja Kepe telah memiliki hubungan yang sangat baik dengan keluarga Balo Kuntung tersebut. Mengetahui hal itu, Dara Belang sangat senang, dia akan mengakhiri masa mudanya karena akan segera dipersunting oleh Balo Kuntung yang telah diketahuinya memiliki rupa yang sangat tampan dan tubuh perkasa. Dara Belang pun tidak sabar menunggu hari baik dalam hidupnya itu. Hingga suatu hari, tersiar kabar bahwa Balo Kuntung dan keluarga besarnya akan mengunjungi keluarga Raja Kepe. Tibalah hari yang dinantikan kedua pihak keluarga, Balo Kuntung beserta rombonganpun segera berla...

Labaong Bukit Timbunan Tulang, Cerita Rakyat Dalam Sebuah Buku

Judul: Labaong Bukit Timbunan Tulang Pengarang: Soedjono Masdi Samidjo Tebal Buku: 93 Halaman Buku karya Soedjono Masdi ini menceritakan tentang legenda tentang seorang Puteri Raja yang terbuang menjadi tutur pinutur dari generasi ke generasi. Konon di sebuah bukit ia dikucilkan karena tubuhnya menjijikan. Sang puteri itu menyatu dengan bukit itu. La Gawa  adalah seorang yang disegani di wilayahnya (Sumbawa), dia juga pemimpin bajak laut Bintang Tiga. Para Kolonial sangat benci dengannya, begitupula dengan mertua La Gawa sendiri (Rangga). La Gawa tidak pernah mematuhi perintah yang diberikan oleh mertuanya karena ia tahu bahwa mertuanya hanya mengingikan jabatan tinggi di kerajaan. Suatu hari La Gawa diusir oleh mertuanya karena ia tanpa sengaja telah memukuli istrinya sendiri. La Gawa pun menggembara tanpa seorng istri di sampingnya (Lala Bueng).  La Gawa bertekad akan berkorban demi rakyat serta wilayah tempat tinggal istrinya. La Gawa dating ke Port Roterdam di Makasar untu...

Sepintas Mengenai Sejarah dan Asal-Usul Suku Samawa

  Nampak Jelas Keseharian Suku Sumbawa (Sumber Foto: Adventours Sumbawa) Suku Sumbawa atau Tau Samawa, adalah suku yang terdapat di bagian barat pulau Sumbawa di provinsi Nusa Tenggara Barat Indonesia. Populasi suku Sumbawa adalah sebesar 500.000 orang. Suku Sumbawa tersebar di dua kabupaten, yaitu kabupaten Sumbawa dan kabupaten Sumbawa Barat yang meliputi kecamatan Empang di ujung timur hingga kecamatan Taliwang dan Sekongkang yang berada di ujung barat dan selatan pulau, termasuk 38 pulau kecil di sekitarnya. Suku Sumbawa sendiri, selama beberapa abad ini mengalami percampuran dengan etnis pendatang, seperti etnis dari jawa, sumatra, sulawesi, kalimantan dan cina serta arab. Suku Sumbawa yang telah bercampur dengan etnis lain ini, biasanya bermukim di dataran rendah dan daerah-daerah pesisir. Sedangkan suku Sumbawa yang masih asli menempati dataran tinggi pegunungan seperti Tepal, Dodo dan Labangkar. Suku Sumbawa berbicara dalam bahasa Sumbawa. Bahasa Sumbawa menjadi bahasa pers...