Skip to main content

Pertempuran Sengit Ki Pasung Grigis Dengan Raja Sumbawa


Ilustrasi

Ki Pasung Grigis adalah putra dari Sri Empu Indra Cakru yang ber-pasraman di Puncak Bukit Gamongan (Lempuyang) dan menjadi seorang patih mangkubumi yang gagah perkasa di Kerajaan Bedahulu Bali saat Sri Tapolung (Astasura Ratna Bumi Banten) menjabat sebagai raja.

Setelah menjadi seorang patih mangkubumi, Ki Pasung Gerigis akhirnya tinggal di desa Tengkulak dekat istana Bedahulu di mana raja Astasura bersemayam dan sebagai pembantunya diangkatlah Ki Kebo Iwa alias Kebo Taruna yang tinggal di Desa Belahbatuh.

Ki Pasung Grigis yang juga disebutkan merupakan cucu dari Raja Masula Masuli dalam sejarah Dalem Gandalangu diceritakan, setelah pemerintahan Kebo Parud, pemerintahan di Bali kembali dipegang oleh keturunan dari raja-raja Bali kuno pada masa sebelumnya, yaitu Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten yang berkuasa di Bedahulu, yang masih keturunan dari raja Hyang Ning Hyang Adi Dewa Lencana.

Dengan demikian, Ki Pasung Grigis dan Sri Asta Sura Bumi Banten masih memiliki hubungan darah, yakni sama-sama prati sentana dari Raja Masula-Masuli.

Kesaktian, keberanian, serta ketangkasan Pasung Grigis yang bisa maya-maya dalam kisah penyerangan Majapahit ke Bali, diceritakan beliau sangat sulit ditandingi sehingga membuat Patih Gajah Mada menjadi risau. Sebab, beliau sudah berjanji di hadapan raja Wilwatikta terdahulu ketika perang telah berhenti, maka pada malam harinya Gajah Mada berhasil mengumpulkan semua arya termasuk Arya Damar yang tengah berada di sebelah utara gunung bertujuan merundingkan siasat perang dalam menaklukkan Pasung Grigis yang sangat kebal, sakti dan tak terlukai oleh senjata apapun.

Dengan harapan agar dapat memenuhi keinginan Prabhu Wilwatikta. Setelah direncakan upaya untuk penyerangan menghadapi Pasung Grigis, maka esoknya semua pasukan Wilwatikta mulai angkat senjata, tetapi semua arah senjata dibalik kebawah, pertanda bahwa prajurit telah takluk demikianlah taktik peperangan Patih Gajah Mada.

Setelah Pasung Grigis melihat prajurit Wilwatikta menyerah, maka senanglah hatinya beserta prajurit Bali Dwipa. Mereka tidak tahu bahwa itu hanyalah siasat daripada Patih Gajah Mada sehingga mereka lupa diri kerena diliputi rasa takabur sehingga bingung,angkuh dan bangga akan kesaktian dan kekuatannya sendiri.

Semua prajurit Wilwatikta berpura-pura menyerah kalah di depan prajurit Bali di bawah pimpinan Pasung Grigis. Berbahagialah Pasung Grigis, sesuai dengan perundingan Pasung Grigis kembali ke Tengkulak sambil berdandan tangan dengan Patih Gajah Mada diiringi para arya dari kedua belah pihak.

Setibanya di Tengkulak, lalu disuguhkan makanan seta minum-minuman yang memuaskan.Pada kesempatan inilah Gajah Mada menjalankan siasatnya dan berkata kepada Pasung Grigis.

“Kanda, karena telah menjadi syarat sejak dahulu dan untuk melaksanakannya, apakah kanda mempunyai seekor anjing warna ulung dan mengerti perasaan manusia? Mohon Kanda mengikatnya sekalian memberikannya nasi”. Demikianlah permintaan Gajah Mada.

Betapa bahagianya Pasung Grigis,yang tidak tahu akan malapetaka yang akan menimpanya,sambil berkata”Kami tidak ada rasa curiga terhadap adikku Rakrian Mada”. Sambil tersenyum, Ki Pasung Grigis mengikat anjing dalam keadan menggonggong namun belum diberikan makan, walaupun demikian, berarti telah ditepati permintaan rakrian Mada.

Berdirilah Rakrian Mada dengan wajah merah padam seraya menuding Pasung Grigis dengan tangan. ”Hai engkau Pasung Grigis, sungguh angkuh jiwa dan ulahmu, tidak sopan melakukan perbuatan dan tak tepat akan janjimu, serta melakukan perbuatan yang tidak benar, semoga hilang semua kesaktianmu, karena telah nyata dan disaksikan oleh Sanghyang Trio Dasa Sakti sekarang bagaimana kehendakmu, maukah kembali mengadu keprawiraan denganku. Angkatlah senjatamu!" Mendengar kata-kata yang diucapkan Gajah Mada yang tak terduga itu, diam dan terkejutlah Pasung Grigis.

Seluruh kekuatannya lemah bagaikan disapu bersih akibat kutukan Gajah Mada, lalu Pasung Grigis dengan nada sedih menyerahkan diri dan semua daerah Bali hingga daratan Bangsul dibawah pasukan Majapahit. Demikianlah pula kraton dengan segala isinya dapat dikuasai karena kecerdikan dan taktik peperangan dari Gajah Mada terhadap Ki Pasung Grigis.

Tersebutlah kini Ki Pasung Grigis beserta para bawahannya menghamba di Wilwakita, setelah Bali dapat ditaklukan oleh Patih Gajah Mada beserta para Arya sebagaimana diceritakan dalam sejarah Bali Kuno 1343. Beliau di sana bukanlah seperti orang tahanan malahan diberikan tempat yang layak karena beliau akan diutus untuk memerangi Raja Deldela Nata di Sumbawa.

Mantan Patih Bedahulu yang sangat sakti ini menyanggupi bahwa dia akan membunuh Raja Deldela Nata sehingga ikut takluk menjadi wilayah Majapahit.

Pada suatu saat yang telah ditentukan,
berangkatlah KI Pasung Grigis beserta laskar Bali menuju pulau Sumbawa. Tidak diceritakan dalam perjalanan maka sampailah Ki Pasung Grigis di Sumbawa dan perang pun berkecamuk. Banyak laskar yang meninggal dari kedua belah pihak. Akhirnya perang tanding antara Raja Deldela Nata dengan Ki Pasung Grigis pun dimulai.

Oleh karena sama-sama mengandalkan kelihaian ilmu bela diri dan kekebalan, maka perang pun berlangsung sangat lama. Mereka saling adu ketangkasan, saling menusuk, saling tebas, namun keduanya tidak ada yang terluka atau tergores sedikit pun.

Pertempuran sengit dalam waktu lama membuat keduanya sama-sama terkena tusukan. Layaknya telah ditakdirkan oleh Tuhan, merekapun sama-sama mengalami tusukan pada bagian yang merupakan kelemahan masing-masing.

Dengan demikian, keduanya lalu wafat dan roboh ketanah. Setelah pemimpin mereka gugur, maka laskar Bali kembali ke Majapahit untuk melaporkan bahwa perang antara Ki Pasung Grigis dengan Raja Deldela Nata telah berakhir. Mereka sama-sama meninggal.

Untuk menghindari kekosongan pemerintahan di Bali dan Sumbawa, maka Raja Majapahit menugaskan 3 orang putra Mpu Kepakisan untuk memerintah di Pasuruan, Bali dan Sumbawa. Di Bali, pemerintahan diserahkan kepada putra bungsu yang bergelar Sri Kresna Kepakisan sebagai raja di Bali.

Sumber: Sejarah Babad Bali

Comments

Popular posts from this blog

Labaong Bukit Timbunan Tulang, Cerita Rakyat Dalam Sebuah Buku

Judul: Labaong Bukit Timbunan Tulang Pengarang: Soedjono Masdi Samidjo Tebal Buku: 93 Halaman Buku karya Soedjono Masdi ini menceritakan tentang legenda tentang seorang Puteri Raja yang terbuang menjadi tutur pinutur dari generasi ke generasi. Konon di sebuah bukit ia dikucilkan karena tubuhnya menjijikan. Sang puteri itu menyatu dengan bukit itu. La Gawa  adalah seorang yang disegani di wilayahnya (Sumbawa), dia juga pemimpin bajak laut Bintang Tiga. Para Kolonial sangat benci dengannya, begitupula dengan mertua La Gawa sendiri (Rangga). La Gawa tidak pernah mematuhi perintah yang diberikan oleh mertuanya karena ia tahu bahwa mertuanya hanya mengingikan jabatan tinggi di kerajaan. Suatu hari La Gawa diusir oleh mertuanya karena ia tanpa sengaja telah memukuli istrinya sendiri. La Gawa pun menggembara tanpa seorng istri di sampingnya (Lala Bueng).  La Gawa bertekad akan berkorban demi rakyat serta wilayah tempat tinggal istrinya. La Gawa dating ke Port Roterdam di Makasar untuk menemui

Asal Mula Batu Balo

Batu Balo adalah cerita rakyat yang berkembang di tengah masyarakat Desa Empang Bawa, Kecamatan Empang, Sumbawa. Pada zaman dulu tersebutlah seorang raja bernama Raja Kepe. Raja Kepe memiliki seorang putri yang sangat cantik bernama Dara Belang. Tibalah suatu hari, sang raja memiliki keinginan yang sangat kuat untuk menikahkan putrinya dengan seorang raja asal negeri Garegat bernama Balo Kuntung. Hal ini dilakukan karena Raja Kepe telah memiliki hubungan yang sangat baik dengan keluarga Balo Kuntung tersebut. Mengetahui hal itu, Dara Belang sangat senang, dia akan mengakhiri masa mudanya karena akan segera dipersunting oleh Balo Kuntung yang telah diketahuinya memiliki rupa yang sangat tampan dan tubuh perkasa. Dara Belang pun tidak sabar menunggu hari baik dalam hidupnya itu. Hingga suatu hari, tersiar kabar bahwa Balo Kuntung dan keluarga besarnya akan mengunjungi keluarga Raja Kepe. Tibalah hari yang dinantikan kedua pihak keluarga, Balo Kuntung beserta rombonganpun segera berlayar

'Lalu Dia Lala Jinis' Cerita Rakyat Dalam Sebuah Novel

Sebuah novel karya sastrawan sumbawa Dinullah Rayes ini menceritakan tentang perjuangan cinta antara putri dari kerajaan seran yang sangat cantik jelita Lala Jinis dengan seorang pangeran yang tampan asal negeri Alas Lalu Dia. Cerita rakyat ini telah ada sejak zaman dahuluu dan turun temurun dikalangan masyarakat. Bahkan beberapa waktu lalu cerita rakyat yang sarat akan perjuangan cinta ini, pernah ditampilkan dalam sebuah drama oleh sanggar seni Lonto Engal ditaman budaya mataram dan terbilang sukses. Lala Jinis adalah seorang putri raja Seran yang sangat cantik jelita, oleh karena itu banyak laki-laki yang mengidamkannya, tak terkecuali Ran Pangantan, seorang putra panglima besar di kerajaan Seran kala itu. Terpesona oleh kecantikan serta latar belakang keluarga lala jinis yang kaya raya, Ran Pangantan bersama ayahandannya pun melamar sang putri. Niat Ran pangantan untuk mempersunting Lala jinis lansung diterima oleh sang Raja dan permaisuri. Dari situlah penderitaan Lala Jinis dimul