Skip to main content

Karaeng Galesong, Sang Penakluk Mataram


Judul Novel: Karaeng Galesong, Sang Penakluk Mataram
Penulis : Mappajarungi Manan
Penerbit : Limau Publisher

Keruntuhan Kerajaan Gowa, dipertegas dengan Perjanjian Bongayya yang tak memihak rakyat sedikitpun. Perjanjian ini ditandatangani oleh Raja Gowa Tallo, I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape (Sultan Hasanuddin) dan Laksamana Cornelis Speelman (VOC). Sebagian rakyat Makasar, ada yang menerima perjanjian ini, ada juga yang ingin memberontak tapi mampu berbuat apa, hanya tunduk pasrah.

I Manindori Karaeng Galesong Karaeng Tojeng, yang dikenal sebagai Karaeng Galesong, seorang Putra Gowa, anak dari Sultan Hasanuddin dan istri ke empat Sultan Hasanuddin, I Lomo Tobo. Merasa gelisah dan tidak menerima begitu saja perjanjian Bongayya yang tak berpihak pada rakyat Gowa. Serta membuat kebijakan yang hampir menguasai sepenuhnya Kerajaan Gowa, seperti memungut pajak sagat tinggi, Kerajaan Gowa tak berhak mengatur pemerintahan dan membuat kebijakan, semua harus tunduk pada VOC.

Buku Karaeng Galesong, Sang Penakluk Mataram

Karaeng Galesong, pemuda tampan, gagah perkasa, yang memiliki ilmu perang dan pengetahuan yang cukup mumpuni walau terbilang masih belia. Dijaga oleh pria yang rata-rata berumur lebih dari 50 tahun, yakni Daeng Kulle, Daeng Jallo, Daeng Anging dan Daeng Bambang. Walau sudah berumur, para penjaganya masih kekar dan lincah.

Melihat kondisi tanah Gowa yang mulai dikuasai VOC, Karaeng Galesong memutuskan beranjak dari tanah kelahirannya. Ia punya prinsip bahwa dirinya lebih baik mencari jati diri dan memulihkan harga dirinya kembali sebagai Putra Gowa. Dengan berjuang kembali merebut tanah kelahirannya dengan berbagai cara.

Mengingat di tanah kelahirannya belum bisa berbuat apa-apa, karena surat perjanjian sudah ditandatangani ayahnya. Ia lebih berencana berlayar ke Mataram. Karena Kerajaan Mataram punya hubungan baik dengan Kerajaan Gowa di masa Pemerintahan Sultan Agung.

Tapi, Karaeng Galesong lupa bahwa sekarang Kerajaan Mataram telah dikuasai dan dikudeta oleh anak kandung Sultan Agung sendiri, yakni Amangkurat I. Yang lebih memihak VOC dan bengis terhadap rakyatnya. Bahkan menghina Sultan Hasanuddin. Sampai menyuruh datang ke Mataram dan menyembahnya. Seketika, Karaeng Galesong sadar, dan beralih rencana. Menetapkan pergi ke Mataram tetapi ingin melampiaskan dendam terhadap Amangkurat I yang telah menghina ayahnya serta memihak VOC.

Bersama lima penjaga dan prajurit Gowa yang masih ada, ia berlayar menuju Mataram, tetapi ditengah perjalanan, diikuti oleh kapal VOC. Maka rombongan Karaeng Galesong memutuskan mampir di Bima. Kekerabatan Kerajaan yang ada di Bima juga mempunyai hubungan baik dengan Kerajaan Gowa. Maka sambutan dari masyarakat Bima pun hangat kepada rombongan Karaeng Galesong.

Pesta digelar dan ketika hendak melanjutkan perjalanan ke Demung, masyarakat Bima juga menyediakan perbekalan yang cukup serta kuda kuda terbaik dari Sumbawa untuk Karaeng Galesong dan para prajuritnya.

Sesampainya di Demung, Karaeng Galesong mendapat pesan dari utusan Pangeran Trunojoyo, bahwa ia dan rombongan diundang jamuan di kediamannya di Sampang Madura.Undangan dipenuhi dan Pangeran Trunojoyo mengetahui gelagat Karaeng Galesong yang menaruh dendam terhadap Amangkurat I. Hal ini dimanfaatkannya untuk bersatu menyerang Amangkurat I yang sombong dan sadis terhadap rakyatnya.

Bukan hanya itu, karena alasan memihak VOC, Pangeran Trunojoyo ingin membumihanguskan Mataram termasuk Amangkurat I. Agar ada keterikatan, Pangeran Trunojoyo menikahkan Karaeng Galesong dengan putrinya, Maduretna. Dayung bersambut, karena Maduretna dan Karaeng Galesong pun saling tertarik.

Setelah pernikahannya yang begitu cepat, Karaeng Galesong bersama Pangeran Trunojoyo beserta masing-masing prajuritnya bersatu menuju barat, yakni Pajarakan Probolinggo sebagai pertahanan pertamanya dalam menabuh genderang perang terhadap Mataram.

Di sepanjang perjalanan menuju Plered tempat keraton Amangkurat I, Karaeng Galesong bertemu dan bersatu dengan prajurit pimpinan Karaeng Bontomarannu, yang kerap melakukan perlawanan terhadap VOC di perairan. Juga bertemu Karaeng Mammar yang merupakan salah satu daftar pencarian VOC juga.

Keganasan prajurit Gowa yang bersatu dengan pasukan Pangeran Trunojoyo serta prajurit pimpinan Karaeng Mammar dan Karaeng Bontomarannu. Ditambah lagi pasukan dari La Tenri Lai Tosengeng dari Kerajaan Wajo, yang membantu dalam memerangi VOC. Ikut bersatu membumihanguskan Mataram yang memihak VOC. Kekuatan pasukan dan keberanian membuat kemenangan di Gegedok, Plered. Amangkurat kabur ke Batavia bersama kedua anaknya Adipati Anom dan Pangeran Puger. Mataram Takluk.

Siapakah yang akhirnya memerintah Mataram? Apakah Pangeran Trunojoyo atau Karaeng Galesong? Selanjutnya, bisa dibaca di bukunya berjudul Karaeng Galesong Sang Penakluk Mataram.

Comments

Popular posts from this blog

Labaong Bukit Timbunan Tulang, Cerita Rakyat Dalam Sebuah Buku

Judul: Labaong Bukit Timbunan Tulang Pengarang: Soedjono Masdi Samidjo Tebal Buku: 93 Halaman Buku karya Soedjono Masdi ini menceritakan tentang legenda tentang seorang Puteri Raja yang terbuang menjadi tutur pinutur dari generasi ke generasi. Konon di sebuah bukit ia dikucilkan karena tubuhnya menjijikan. Sang puteri itu menyatu dengan bukit itu. La Gawa  adalah seorang yang disegani di wilayahnya (Sumbawa), dia juga pemimpin bajak laut Bintang Tiga. Para Kolonial sangat benci dengannya, begitupula dengan mertua La Gawa sendiri (Rangga). La Gawa tidak pernah mematuhi perintah yang diberikan oleh mertuanya karena ia tahu bahwa mertuanya hanya mengingikan jabatan tinggi di kerajaan. Suatu hari La Gawa diusir oleh mertuanya karena ia tanpa sengaja telah memukuli istrinya sendiri. La Gawa pun menggembara tanpa seorng istri di sampingnya (Lala Bueng).  La Gawa bertekad akan berkorban demi rakyat serta wilayah tempat tinggal istrinya. La Gawa dating ke Port Roterdam di Makasar untuk menemui

Asal Mula Batu Balo

Batu Balo adalah cerita rakyat yang berkembang di tengah masyarakat Desa Empang Bawa, Kecamatan Empang, Sumbawa. Pada zaman dulu tersebutlah seorang raja bernama Raja Kepe. Raja Kepe memiliki seorang putri yang sangat cantik bernama Dara Belang. Tibalah suatu hari, sang raja memiliki keinginan yang sangat kuat untuk menikahkan putrinya dengan seorang raja asal negeri Garegat bernama Balo Kuntung. Hal ini dilakukan karena Raja Kepe telah memiliki hubungan yang sangat baik dengan keluarga Balo Kuntung tersebut. Mengetahui hal itu, Dara Belang sangat senang, dia akan mengakhiri masa mudanya karena akan segera dipersunting oleh Balo Kuntung yang telah diketahuinya memiliki rupa yang sangat tampan dan tubuh perkasa. Dara Belang pun tidak sabar menunggu hari baik dalam hidupnya itu. Hingga suatu hari, tersiar kabar bahwa Balo Kuntung dan keluarga besarnya akan mengunjungi keluarga Raja Kepe. Tibalah hari yang dinantikan kedua pihak keluarga, Balo Kuntung beserta rombonganpun segera berlayar

'Lalu Dia Lala Jinis' Cerita Rakyat Dalam Sebuah Novel

Sebuah novel karya sastrawan sumbawa Dinullah Rayes ini menceritakan tentang perjuangan cinta antara putri dari kerajaan seran yang sangat cantik jelita Lala Jinis dengan seorang pangeran yang tampan asal negeri Alas Lalu Dia. Cerita rakyat ini telah ada sejak zaman dahuluu dan turun temurun dikalangan masyarakat. Bahkan beberapa waktu lalu cerita rakyat yang sarat akan perjuangan cinta ini, pernah ditampilkan dalam sebuah drama oleh sanggar seni Lonto Engal ditaman budaya mataram dan terbilang sukses. Lala Jinis adalah seorang putri raja Seran yang sangat cantik jelita, oleh karena itu banyak laki-laki yang mengidamkannya, tak terkecuali Ran Pangantan, seorang putra panglima besar di kerajaan Seran kala itu. Terpesona oleh kecantikan serta latar belakang keluarga lala jinis yang kaya raya, Ran Pangantan bersama ayahandannya pun melamar sang putri. Niat Ran pangantan untuk mempersunting Lala jinis lansung diterima oleh sang Raja dan permaisuri. Dari situlah penderitaan Lala Jinis dimul