Skip to main content

Syekh Ibrahim Al-Sumbawi, Ulama Sumbawa Maestro Kaligrafi Mekkah


Halaman akhir dari sebuah manuskrip salinan (al-nuskhakh al-makhtuthah al-mansukhah) kitab "Maulid Syaraf al-Anam" buah tangan seorang Ulama Nusantara asal Sumbawa yang juga maestro kaligrafi dunia Islam yang hidup dan berkarir di Makkah pada abad ke 19 M, yaituIbrahim al-Khulushi ibn Wudd al-Jawi al-Sumbawi (diperkirakan wafat pada tahun 1860 M).

Manuskrip "Maulid Syaraf al-Anam" salinan SyaikhIbrahim al-Khalushi al-Sumbawi al-Jawi tersebut kini tersimpan di Museum Seni Islam Malaysia (Islamic Art Museum Seni Malaysia), Kuala Lumpur.

Seorang kurator naskah-naskah Melayu-Nusantara dari British Library, Annabel Gallop, pernah memberikan catatan singkat tentang keberadaan manuskrip ini.

Teks "Manuskrip Syaraf al-Anam" disalin oleh Syaikh Ibrahim al-khulusi al-Sumbawi dengan menggunakan aksara Arab bercorak tsulutsi yang indah, dengan dihiasi berbagai macam hiasan, ornament, dan ilmuninasi di setiap halamannya, sementara di bawah setiap kata dati teks tersebut dituliskan arti berbahasa Melayu berhuruf Arab (Jawi/Pegon).

Manuskrip tersebut menunjukan jika si penyalin (nasikh)nya memiliki kemahiran tingkat tinggi dalam seni kaligrafi dan penyalinan naskah.

Hal ini tampak pada kualitas tulisan, baik keindahan dan kerapihannya, juga pada hiasan (ilmuninasi), ornament (zukhrufah), dan perpaduan warna yang eksotis pada naskah tersebut. Tampak di sana perpaduan antara keindahan corak seni kaligrafi-manuskrip Turki-Ottoman, arab, dan Nusantara.

Tulisan dalam kolofon manuskrip tersebut;

سودة الفقير الى الله تعالى إبراھيم الخلوصي ابن ود الجاوي السمباوي في مكة المشرفة من الھجرة النبوبة ستة 1042

(Ditulis oleh hamba Allah yang faqir Ibrahim al-khulushi anaknya Wadd al-Jawi [orang Nusantara] al-Sumbawi [orang Sumbawa], di Makkah al-Musyarrafah (yang mulia) pada tahun 1042 Hijriah).

Meski demikian, data-data tentang sosok al-Jawi ini terbilang sangat langka. Data-data itu ada tercecer, belum terangkum.

Padahal, melihat hasil karya dan sentuhan tangannya pada manuskrip tersebut, bisa dipastikan jika Syaikh Ibrahim al-Khulushi al-Sumbawi al-Jawi adalah seorang maestro kaligrafer (khaththath) dan penyalin naskah (nasikh/warraq) yang sangat ulung.

Data yang terdapat dalam kolofon naskah salinan tersebut semestinya dapat memberikan setitik terang petunjuk. Namun, data-titimangsa yang tertulis di sana adalah 1042 H (1632 M).

Tampaknya titimangsa tersebut salah tulis, karena terlalu jauh, menimbang gaya kaligrafi, iluminasi, dan ornament manuskrip yang seperti itu adalah gaya masa-masa akhir Ottoman (abad ke-19 M).

Ada sebuah data pendukung lain, yaitu sebuah dokumen berupa surat yang dibuat dan dikirim oleh para ulama Nusantara di Makkah pada pertengahan abad ke-19 M (1850?) dan ditujukan untuk Sultan Abdul Majid Khan-Khalifah Turki-Ottoman di Istanbul, salah satunya terdapat namaIbrahim al-Jawi (surat tersebut tersimpan di pusat Arsip keperdana-mentrian Istanbul, Turki).

Sebuah data lainya datang dari surat tulisan tangan seorang ulama dari kesultanan Kelantan (kini Malaysia), yang bernama 'Abd al-Rahman ibn Muhammad al-Sammani al-Kalantani.

Surat tersebut ditulis pada tahun 1865 M atau beberapa tahun setelah kewafatan al-Sumbawi (surat tersebut tersimpan di Museum Swni Islam Malaysia).

Tertulis dalam surat itu: 

"Patik ini... sudah dilatih? Orang besar-besar di Makkah akan bawa patik tuan Syaikh Ibrahim al-khulushi al-Sumbawi yang masyhur itu ... pada pihak tolong mengajarkan segala muslimin menyurat Istanbulnya".

Asumsi saya, Syaikh Ibrahim al-Khulushi al-Jawi (Abdul Ghani Bima, w. 1270 H/ 1853 M), salah seorang ulama dan pengajar di Masjid al-Haram asal Bima (Sumbawa), juga dengan Syaikh Ahmad Khatib Sambas al-Jawi (dari Sambas Borneo).

Ibrahim al-Khulushi al-Sumbawi lebih yunior dari 'Abd al-Ghani al-Bimawi, menimbang tahun wafatIbrahim yang lebih belakangan dari al-Bimawi.

Berbeda dengan Ibrahim al-Khulushi al-Sumbawi, biografi 'Abd al-Ghani al-Bimawi dan Ahmad Khatib Sambas terekam dalam beberapa buku biografi intelektual (tarajim al-ulama) berbahas Arab, seperti.

"al-Mukhtashar min al-Nur wa al-Zahr fi "

"Faidh al-Malik al-Wahhab al-Muta'ali fi A'yan al-Qarn al-Tsalits 'Asyar wa Ma al-Tawali ", dan lain-lain.

Sementara itu di negeri asal keduanya, yaitu di Sumbawa, pada masa itu terdapat sebuah kesultanan Islam yang besar dan berdulat, yang saat itu sedang dipimpin oleh Sultan Shalahuddinal-Adil Bimaa.

Sumbawa di zaman itu menjadi salah satu pusat terpenting kekuatan politik Islam di Nusantara Timur sekaligus salah satu pusat keilmuan Islam yang mapan.

Hal ini setidaknya diindikasikan dengan munculnya nama beberapa ulama asal Sumbawa yang memilki kiprah dan karir yang cemerlang di Timur Tengah di masa itu.

Sumber: Ustadz Ahmad, Ginanjar Sya'ban

Comments

  1. trima kasih infonya ustat,,mudah2an artikel ini ada kaitannya dgn makam syeh ibrahim yg ada ditempat kami,,desa moyo mekar kecamatan moyo hilir sumbawa

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Labaong Bukit Timbunan Tulang, Cerita Rakyat Dalam Sebuah Buku

Judul: Labaong Bukit Timbunan Tulang Pengarang: Soedjono Masdi Samidjo Tebal Buku: 93 Halaman Buku karya Soedjono Masdi ini menceritakan tentang legenda tentang seorang Puteri Raja yang terbuang menjadi tutur pinutur dari generasi ke generasi. Konon di sebuah bukit ia dikucilkan karena tubuhnya menjijikan. Sang puteri itu menyatu dengan bukit itu. La Gawa  adalah seorang yang disegani di wilayahnya (Sumbawa), dia juga pemimpin bajak laut Bintang Tiga. Para Kolonial sangat benci dengannya, begitupula dengan mertua La Gawa sendiri (Rangga). La Gawa tidak pernah mematuhi perintah yang diberikan oleh mertuanya karena ia tahu bahwa mertuanya hanya mengingikan jabatan tinggi di kerajaan. Suatu hari La Gawa diusir oleh mertuanya karena ia tanpa sengaja telah memukuli istrinya sendiri. La Gawa pun menggembara tanpa seorng istri di sampingnya (Lala Bueng).  La Gawa bertekad akan berkorban demi rakyat serta wilayah tempat tinggal istrinya. La Gawa dating ke Port Roterdam di Makasar untuk menemui

Asal Mula Batu Balo

Batu Balo adalah cerita rakyat yang berkembang di tengah masyarakat Desa Empang Bawa, Kecamatan Empang, Sumbawa. Pada zaman dulu tersebutlah seorang raja bernama Raja Kepe. Raja Kepe memiliki seorang putri yang sangat cantik bernama Dara Belang. Tibalah suatu hari, sang raja memiliki keinginan yang sangat kuat untuk menikahkan putrinya dengan seorang raja asal negeri Garegat bernama Balo Kuntung. Hal ini dilakukan karena Raja Kepe telah memiliki hubungan yang sangat baik dengan keluarga Balo Kuntung tersebut. Mengetahui hal itu, Dara Belang sangat senang, dia akan mengakhiri masa mudanya karena akan segera dipersunting oleh Balo Kuntung yang telah diketahuinya memiliki rupa yang sangat tampan dan tubuh perkasa. Dara Belang pun tidak sabar menunggu hari baik dalam hidupnya itu. Hingga suatu hari, tersiar kabar bahwa Balo Kuntung dan keluarga besarnya akan mengunjungi keluarga Raja Kepe. Tibalah hari yang dinantikan kedua pihak keluarga, Balo Kuntung beserta rombonganpun segera berlayar

'Lalu Dia Lala Jinis' Cerita Rakyat Dalam Sebuah Novel

Sebuah novel karya sastrawan sumbawa Dinullah Rayes ini menceritakan tentang perjuangan cinta antara putri dari kerajaan seran yang sangat cantik jelita Lala Jinis dengan seorang pangeran yang tampan asal negeri Alas Lalu Dia. Cerita rakyat ini telah ada sejak zaman dahuluu dan turun temurun dikalangan masyarakat. Bahkan beberapa waktu lalu cerita rakyat yang sarat akan perjuangan cinta ini, pernah ditampilkan dalam sebuah drama oleh sanggar seni Lonto Engal ditaman budaya mataram dan terbilang sukses. Lala Jinis adalah seorang putri raja Seran yang sangat cantik jelita, oleh karena itu banyak laki-laki yang mengidamkannya, tak terkecuali Ran Pangantan, seorang putra panglima besar di kerajaan Seran kala itu. Terpesona oleh kecantikan serta latar belakang keluarga lala jinis yang kaya raya, Ran Pangantan bersama ayahandannya pun melamar sang putri. Niat Ran pangantan untuk mempersunting Lala jinis lansung diterima oleh sang Raja dan permaisuri. Dari situlah penderitaan Lala Jinis dimul