Skip to main content

Surat Terbuka untuk Bupati Sumbawa



Penulis: Imron Fhatoni
(Humas Forum Komunikasi Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Sumbawa Mataram)

BAPAK Bupati Sumbawa yang saya hormati.

Saya adalah orang yang paling percaya bahwa bapak bupati sangat mencintai Sumbawa sebagaimana saya dan ribuan mahasiswa lain yang tengah menempuh pendidikan di Lombok. Perkenalkan pak, nama saya Imron Fhatoni. Saya adalah mahasiswa dari kecamatan Empang, jauh di pelosok timur Kabupaten Sumbawa.

Saya mengenal bapak jauh sebelum bapak menjadi bupati. Dulu, bapak pernah berkantor di Mataram. Tepatnya, Jalan Udayana No. 11, Selaparang, Dasan Agung. Saat itu bapak masih menjabat sebagai legislator bersama wakil-wakil saya yang lain.

Bapak mungkin tidak mengenal saya, sebab saya masih mahasiswa dan bapak sudah jadi tokoh publik yang kesohor. Kita juga tidak pernah berjumpa melalui forum-forum resmi, melainkan hanya sepintas saja. Saya berteriak di luar gedung, dan bapak di dalamnya. Ada kaca tebal yang memisahkan kita, sehingga wajar jika bapak tidak mengenali rupa saya. Tapi itu tidak menjadi soal, karena bapak tetaplah sosok yang saya hormati. Bapak adalah pemimpin saya.

Bapak Bupati Sumbawa yang saya hormati.

Izinkanlah saya mengemukakan sesuatu yang mungkin tak berkenan bagi bapak. Mungkin tak membahagiakan bapak. Atau mengusik bapak di Sumbawa sana. Namun bukankah kebenaran harus terus disuarakan demi membakar ilalang kesadaran?

Beberapa waktu lalu, saya sangat senang saat bapak mencalonkan diri menjadi Bupati Sumbawa. Saya termasuk mahasiswa yang memilih pulang kampung demi mencoblos bapak kala itu. Saya membaca visi misi bapak yang serupa syair pujangga. Bagi saya, visi misi itu laksana embun penyubur nasionalisme saya yang telah lama tertanam di dasar hati.

Saya mengamini visi misi yang bapak usung yakni “Terwujudnya Masyarakat Mandiri Berdaya Saing dan Berkepribadian Berlandaskan Semangat Gotong Royong.” Saya yakin jika visi misi itu dijakankan dengan jujur, maka Sumbawa yang sama-sama kita impikan pastilah terwujud.

Namun tahukah bapak, bahwa untuk menggapai mimpi sebesar itu, kita juga memerlukan kerja-kerja yang juga besar? Kita membutuhkan sebuah sinergi yang melibatkan elemen pemerintah, masyarakat dan yang tak kalah penting adalah mahasiswa sebagai pemegang estafet kepemimpinan?

Perlu bapak ketahui, bahwa jumlah mahasiswa Sumbawa di Mataram ada ratusan, bahkan ribuan orang. Dari kecamatan Empang saja, sesuai data terakhir yang saya kumpulkan mencapai 520 orang. Itupun belum semuanya terdata dengan baik. Bisakah bapak bayangkan, jika jumlah yang sebanyak ini terintegrasi, lalu bahu membahu dengan pemerintah demi mewujudkan visi misi bapak?

Bapak Bupati Sumbawa yang saya hormati.

Saat ini, Mahasiswa Sumbawa di Mataram masih tercecer. Hal ini tentu bisa dipahami mengingat mereka adalah satu-satunya kelompok mahasiswa yang tidak memiliki asrama sebagai sentra perkumpulan di bumi Sasak. Berbeda halnya dengan mahasiswa Sumbawa di tempat lain, kami memanfaatkan fasilitas umum hanya sekedar untuk berdiskusi.

Jika kunjungan bapak ke Jogja beberapa waktu lalu disambut meriah oleh mahasiswa di asrama mereka, maka bisa saya pastikan saat bapak menyambangi kami di Lombok, kami akan menemui bapak di tempat-tempat umum, di pinggir-pinggir jalan, lapangan sepak bola, atau bahkan di gang-gang sempit.

Bapak tentu tahu bahwa asrama mahasiswa Sumbawa terbakar pada 2011, tepatnya 6 tahun lalu. Memang, saat itu bapak belum menjabat sebagai bupati. Tapi setidaknya, status bapak adalah wakil rakyat bukan? Terlebih bapak masih bertugas di Mataram. Pak, sejak tragedi  memilukan itu, tak ada respon dari pemerintah daerah. Bertahun-tahun lamanya, hingga berlanjut saat kepemimpinan bapak sekarang.

Sebagai humas Forum Komunikasi Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Sumbawa Mataram, saya pernah ke Sumbawa untuk membicarakan kasus ini. Saya mengunjungi kantor Dewan Perwakilan Rakyat, berusaha membangun satu jaringan komunikasi dengan harapan pemerintah daerah bisa ikut serta dalam merumuskan solusinya. Tapi, lagi-lagi hasilnya nihil.

Bukan sekali saya melakukan hal yang demikian. Beberapa waktu lalu, saya juga sempat mengunjungi salah seorang pimpinan dewan Sumbawa di kediamannya. Ketika itu, ia berjanji akan menemui para mahasiswa Sumbawa di Mataram untuk membicarakan proses pembangunan asrama. Tapi apa boleh buat. Orang itu semakin meyakinkan saya bahwa kita memang tidak bisa terlalu berharap banyak pada politisi.

Bapak Bupati Sumbawa yang saya hormati.

Bukankah kita sama-sama tahu, apa sebenarnya motif yang melatarbelakangi tragedi terbakarnya asrama mahaiswa Sumbawa di Mataram. Di media sosial, beredar pula suara-suara minor yang menyebutkan bahwa asrama itu tak perlu dibangun kembali sebab dulunya, pemanfaatan asrama tidak gunakan dengan baik sebagaimana mestinya.
Saya tak hendak menyangkal pikiran-pikiran itu.

Namun, saya juga tidak membenarkan jika hanya karena asrama itu tidak dimanfaatkan dengan baik oleh generasi-generasi terdahulu, maka setelah terbakar, pemerintah tak berkewajiban membangunnya kembali.

Kepada mereka yang berpendapat seperti itu, saya ingin bertanya, bisakah semua kesalahan sekelompok orang di masa lalu harus ditanggung oleh para generasi baru? Layakkah kita memberi persepsi bahwa watak dari setiap generasi itu selalu sama? Atau salahkah jika kita, para generasi baru mengambil pelajaran dari apa yang pernah terjadi di masa terdahulu?

Kepada mereka, saya kerap berkata bahwa setiap persoalan haruslah dipandang secara utuh. Tidakkah mereka berfikir, berapa banyak alumni dari asrama itu yang sekarang mengabdikan dirinya demi setitik kemajuan daerah? Atau mungkin mereka tidak cukup membaca bahwa dulunya, bapak juga tinggal di asrama?

Dalam ilmu logika, kita mengenal istilah pars pro toto yakni anggapan satu bagian kecil merupakan ceriminan dari keseluruhan. Begitu pula dalam setiap diskusi. Kita sering menemukan pemikiran seperti ini.

Misalnya, seseorang membaca berita tentang ada warga keturunan yang divonis korupsi. Ia lalu menggeneralisir bahwa semua warga keturunan seperti itu. Ia lalu membenci setengah mati. Padahal, faktanya, pelaku korupsi itu berasal dari berbagai etnik dan agama. Ada yang ketahuan, ada pula yang pandai menyembunyikan kerakusan. Logika serupa juga bisa diterapkan pada kasus ini.

Bapak Bupati Sumbawa yang saya hormati.

Saya tak hendak mendesak bapak untuk membangun kembali asrama mahasiswa Sumbawa di Mataram yang lalu bisa saya tempati dengan gratis. Tidak pak. Maksud saya bukan seperti itu. Saya hanyalah seorang mahasiswa tingkat akhir yang beberapa waktu lagi akan segera menyelesaikan perkuliahan. Saya juga berharap bapak bisa mendoakan saya.

Sebagaimana para pemimpin lain di negeri tercinta ini, bapak memang tak sempurna dan penuh celah. Bapak masih punya banyak pekerjaan rumah yang harus dirampungkan. Terlebih bagi masyarakat Sumbawa khususnya.

Pada titik tertentu, mungkin kritik saya bisa dibenarkan. Namun adalah keliru jika saya memosisikan bapak sebagai Aladin yang bisa menyelesaikan semua persoalan dengan hanya mengusap lampu wasiat.

Di Sumbawa, bapak masih perlu bekerja ekstra demi merapikan tatanan birokrasi kita yang amburadul, memikirkan nasib nelayan kita yang terombang ambing bak air laut, menumpas praktik-praktik jahat lintah darat disepanjang desa. Atau, sesekali melirik aktivitas para pejabat brengsek yang merampas tanah petani lalu menjualnya ke korporasi bangsat dalam satu siklus kongkalikong perizinan.

Tapi, alangkah lebih bijak kiranya jika bapak mempertimbangkan usulan ini. Bukankah kata “Berdaya Saing” yang tertera dalam visi misi bapak ditandai dengan SDM yang berkualitas? Pak, untuk mencapai itu, salah satu yang harus kita lakukan adalah melibatkan peran mahasiswa dalam praktiknya.

Memang, membangun asrama tak lantas menjamin produktivitas mahasiswa. Tapi setidaknya, hal yang demikian adalah bentuk pengakuan dan tanggungjawab dari pemerintah daerah terhadap mereka.

Saya membayangkan adanya sentra perkumpulan mahasiswa Sumbawa di Mataram sebagai jantung dari semua kegiatan komunitas. Kita bisa lengkapi tempat itu dengan perpustakaan yang tidak hanya berisi rak-rak buku tetapi menjadi tempat community center (pusat komunitas), meeting point (tempat bertemu), juga menjadi tempat memulai dan menjalankan aktivitas mahasiswa.

Kita dapat mengadopsi berbagai konsep dari luar negeri yang menjadikan perpustakaan bukan sekedar tempat membaca buku tetapi ruang untuk belajar, berbagi, bermain, serta menjalankan banyak aktivitas lain. Saya membayangkan asrama sebagai wadah pertukaran pengetahuan. Pada hari-hari tertentu, bisa dibuat diskusi buku dengan mendatangkan berbagai narasumber. Bahkan bapak juga bisa hadir untuk berbagi pengalaman serta memberi kami motivasi.

Selain itu, kita bisa membuat pelatihan menulis yang dirangkaikan dengan pelatihan membuat video dan fotografi. Tujuannya agar segala aktivitas yang dilakukan di asrama selalu terkait dengan ilmu pengetahuan dan peradaban. Urusan kemampuan, saya yakin jika mahasiswa Sumbawa memiliki potensi dan keunggulan di bidang masing-masing.

Di luar daripada itu, pemerintah bisa memanfaatkan mereka untuk membantu segala kebutuhan masyarakat desa. Misalnya, kita bisa memberdayakan mahasiswa di bidang IT untuk membuat sistem informasi desa berbasis web yang lalu digunakan untuk mengkampanyekan produk, potensi, serta segala aset yang dimiliki setiap desa kepada dunia luas. Inilah yang saya maksudkan dengan sebuah sinergi.

Pak, saya begitu iri dengan kabupaten seberang yang pemerintahnya menaruh perhatian khusus pada pendidikan. Hal ini dibuktikan melalui kontrak kerjasama mereka dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) beberapa waktu lalu.

Melalui kerjasama itu, pemuda-pemuda potensial di setiap desa bisa berkesempatan memperdalam khazanah keilmuan bahkan hingga luar negeri. Harapanya, kelak pengetahuan itu dapat dikembalikan sebagai embun kebijaksanaan yang menyejukkan dahaga masyarakat desa.

Bapak Bupati Sumbawa yang saya hormati.

Saya yakin, jika generasi muda ini bersatu, mereka serupa air bah yang mampu menjebol satu tembok kokoh ketertinggalan. Melalui mereka, semerbak harapan tentang kemajuan Sumbawa yang sama-sama kita cintai harus selalu tumbuh. Ada banyak hal yang bisa dilakukan selama pemerintah mau memberi ruang serta berkomitmen untuk berjuang bersama.

Saya teringat TGB yang dengan berani menggandeng para generasi muda untuk ikut mengkampanyekan wisata halal di media sosial. Kolaborasi antara pemerintah dan netizen itu akhirnya berujung pada kesuksesan NTB dalam ajang World Halal Tourism Award beberapa waktu lalu.

Pak, jika bapak keberatan membangun asrama mahasiswa karena menggunakan anggaran yang terlampau besar, bapak bisa menyiasatinya dengan membangun sekret bersama demi menuntaskan rasa lapar mereka akan berkumpul, berserikat, serta berbuat sesuatu demi kemajuan daerah. Salah satu fokus program yang bapak galakkan adalah pembangunan infrastruktur bukan?

Ah, semoga saja bapak membaca surat ini.

Comments

Popular posts from this blog

Labaong Bukit Timbunan Tulang, Cerita Rakyat Dalam Sebuah Buku

Judul: Labaong Bukit Timbunan Tulang Pengarang: Soedjono Masdi Samidjo Tebal Buku: 93 Halaman Buku karya Soedjono Masdi ini menceritakan tentang legenda tentang seorang Puteri Raja yang terbuang menjadi tutur pinutur dari generasi ke generasi. Konon di sebuah bukit ia dikucilkan karena tubuhnya menjijikan. Sang puteri itu menyatu dengan bukit itu. La Gawa  adalah seorang yang disegani di wilayahnya (Sumbawa), dia juga pemimpin bajak laut Bintang Tiga. Para Kolonial sangat benci dengannya, begitupula dengan mertua La Gawa sendiri (Rangga). La Gawa tidak pernah mematuhi perintah yang diberikan oleh mertuanya karena ia tahu bahwa mertuanya hanya mengingikan jabatan tinggi di kerajaan. Suatu hari La Gawa diusir oleh mertuanya karena ia tanpa sengaja telah memukuli istrinya sendiri. La Gawa pun menggembara tanpa seorng istri di sampingnya (Lala Bueng).  La Gawa bertekad akan berkorban demi rakyat serta wilayah tempat tinggal istrinya. La Gawa dating ke Port Roterdam di Makasar untuk menemui

Asal Mula Batu Balo

Batu Balo adalah cerita rakyat yang berkembang di tengah masyarakat Desa Empang Bawa, Kecamatan Empang, Sumbawa. Pada zaman dulu tersebutlah seorang raja bernama Raja Kepe. Raja Kepe memiliki seorang putri yang sangat cantik bernama Dara Belang. Tibalah suatu hari, sang raja memiliki keinginan yang sangat kuat untuk menikahkan putrinya dengan seorang raja asal negeri Garegat bernama Balo Kuntung. Hal ini dilakukan karena Raja Kepe telah memiliki hubungan yang sangat baik dengan keluarga Balo Kuntung tersebut. Mengetahui hal itu, Dara Belang sangat senang, dia akan mengakhiri masa mudanya karena akan segera dipersunting oleh Balo Kuntung yang telah diketahuinya memiliki rupa yang sangat tampan dan tubuh perkasa. Dara Belang pun tidak sabar menunggu hari baik dalam hidupnya itu. Hingga suatu hari, tersiar kabar bahwa Balo Kuntung dan keluarga besarnya akan mengunjungi keluarga Raja Kepe. Tibalah hari yang dinantikan kedua pihak keluarga, Balo Kuntung beserta rombonganpun segera berlayar

'Lalu Dia Lala Jinis' Cerita Rakyat Dalam Sebuah Novel

Sebuah novel karya sastrawan sumbawa Dinullah Rayes ini menceritakan tentang perjuangan cinta antara putri dari kerajaan seran yang sangat cantik jelita Lala Jinis dengan seorang pangeran yang tampan asal negeri Alas Lalu Dia. Cerita rakyat ini telah ada sejak zaman dahuluu dan turun temurun dikalangan masyarakat. Bahkan beberapa waktu lalu cerita rakyat yang sarat akan perjuangan cinta ini, pernah ditampilkan dalam sebuah drama oleh sanggar seni Lonto Engal ditaman budaya mataram dan terbilang sukses. Lala Jinis adalah seorang putri raja Seran yang sangat cantik jelita, oleh karena itu banyak laki-laki yang mengidamkannya, tak terkecuali Ran Pangantan, seorang putra panglima besar di kerajaan Seran kala itu. Terpesona oleh kecantikan serta latar belakang keluarga lala jinis yang kaya raya, Ran Pangantan bersama ayahandannya pun melamar sang putri. Niat Ran pangantan untuk mempersunting Lala jinis lansung diterima oleh sang Raja dan permaisuri. Dari situlah penderitaan Lala Jinis dimul