Skip to main content

Menelusuri Qur’an Kuno Sumbawa


Halaman iluminasi awal mushaf, disalin oleh Muhammad bin Abdullah al-Jawi al-Bugisi, 1785.

Untuk menuju Pulau Sumbawa, dari Jakarta, tidak ada penerbangan langsung. Pesawat mendarat di Mataram, dan perjalanan selanjutnya menggunakan angkutan travel, berupa minibus dengan 11 penumpang.

Mobil yang saya tumpangi merapat di pelabuhan menuju Sumbawa tepat waktu, beberapa saat sebelum pintu feri ditutup. Langit masih menyisakan biru, sebelum pelan-pelan meredup jadi kemerahan.

Para penumpang travel semua turun dari mobil, menyebar entah ke mana. Saya sempat meminta tolong kepada supir bahwa nanti saya dicarikan hotel di dekat “Istana Tua” – suatu istilah yang baru saya tahu tadi ketika mencari tiket travel. Istana Tua adalah sebutan untuk bekas istana kerajaan Sumbawa.

Di feri, saya memilih tempat di tingkat atas, di bagian depan, agar bisa melihat pemandangan dengan leluasa. Saya kira perjalanan menyeberang ke Pulau Sumbawa hanya sebentar saja.

Rupanya memakan waktu cukup lama, dua jam, hingga lepas magrib. Gelap, dan bintang-bintang mulai tampak bertebaran. Akhirnya feri merapat di Pulau Sumbawa pada pukul tujuh malam. Dari pelabuhan, perjalanan masih sekitar dua jam lagi untuk sampai Sumbawa Besar, ibu kota Kabupaten Sumbawa.

Sepanjang perjalanan dari Jakarta tidak ada kesulitan apa pun, karena mobil travel mencarikan penginapan, dan mengantar saya hingga pintu hotel. Alhamdulillah.

Esok paginya, meski terasa agak capek, karena harus ‘mengirit waktu’, saya langsung bergerak. Sasaran pertama adalah Istana Tua. Dahulu Sumbawa merupakan kerajaan yang cukup kuat, berlangsung sekitar tiga abad, dan bekasnya masih terasa hingga kini (lihat “Peninggalan Kesultanan Sumbawa” di bawah).

Di istana tua rupanya tidak ada koleksi apa-apa selain tandu dan sejumlah repro foto dari zaman Belanda. Oleh petugas yang ada di situ saya diarahkan untuk ke Bala Kuning, kediaman Sultan. “Bala” dalam bahasa Bugis berarti rumah.

Benar saja, kediaman sultan itu berwarna kuning, dengan arsitektur zaman Belanda yang masih terjaga. Namun Sultan sendiri tidak berdiam di sini sehari-hari, dan rumah pusaka ini ditinggali oleh keluarga kesultanan.

Qur’an kuno Sumbawa

Beruntung, di Bala Kuning saya bisa bertemu dengan Bapak Lalu Khotot Purwa Priana. Ibunya, Hj. Nindo Siti Rahayu adalah kakak dari Sultan Sumbawa saat ini (lihat “Sultan Sumbawa Kini” di bawah).

Tidak berbelit, setelah berkenalan, Pak Lalu Khotot segera menunjuki saya sebuah Qur’an beriluminasi indah. “Qur’an ini belum lama dikonservasi di Perpustakaan Nasional, Jakarta,” tutur Pak Khotot.

Konservasi yang dimaksud adalah dengan cara dilaminasi, yaitu dilapisi kertas khusus untuk melindungi kertas aslinya yang sudah rapuh. Memang permukaan Qur’an menjadi agak buram, tidak sejelas aslinya. Namun dengan konservasi, mushaf ini sekarang menjadi lebih kuat dan bisa dibuka dengan leluasa.

Mushaf ini disalin tahun 1785 pada masa Sultan Harun ar-Rasyid (memerintah 1777-1791). Ditulis oleh penyalin Bugis bernama Muhammad bin Abdullah al-Jawi al-Bugisi – demikian ia menulis nama dirinya (lihat “Tiga Kolofon Qur’an Sumbawa” di bawah).

Tak pelak, memang mushaf beriluminasi indah pada bagian awal, tengah, dan akhir ini mempunyai pengaruh Bugis yang kuat, khususnya terlihat pada penulisan teks Qur’annya. Adapun dalam motif ragam hiasnya, tampak berbeda dengan umumnya ragam hias Bugis.


Halaman iluminasi akhir mushaf

Qur’an kuno Sumbawa kedua disalin 53 tahun kemudian oleh Abdurrahman bin Ayub bin Abdul Baqi as-Sumbawi, selesai pada 1838.

Tidak seperti mushaf pertamayang ditulis oleh penyalin keturunan Bugis, Qur’an kedua ini ditulis oleh penyalin tempatan, tampak dari gelarnya, as-Sumbawi. Dari segi ciri penulisan teks, mushaf ini memang berbeda dengan mushaf pertama. Uniknya, setiap kata pertama pada awal surah selalu ditulis besar.

Di samping itu, beberapa kata tertentu juga ditulis besar – sebagai suatu penekanan tertentu – seperti kata Muhammad, Ahmad, allāhumma, Bismillāh, salām, dan Surah al-Ikhlas. Model seperti ini sangat jarang terjadi dalam penyalinan mushaf di dunia Islam.

Mushaf yang ditulis dengan rapi ini disimpan oleh Ibu Lala Mahtera, keluarga kesultanan di kompleks Istana Dalam Loka. Disayangkan, halaman beriluminasi indah di awal mushaf kini telah dilakban, sehingga dalam waktu beberapa tahun mendatang, akan merusak kondisi mushaf.


Halaman iluminasi awal mushaf, disalin oleh Abdurrahman bin Ayub bin Abdul Baqi as-Sumbawi, 1838.

Selain dua Qur’an di atas, menurut penelusuran sebelumnya yang dilakukan oleh Ahmad Rahman dan Asep Saefullah dari Puslitbang Lektur Keagamaan pada tahun 2005, di Bala Kuning juga disimpan sebuah mushaf yang disalin di Mekah oleh Abdurrahman bin al-Marhum Musa as-Sumbawi pada 1864, yaitu 26 tahun setelah mushaf yang kedua.

Mushaf ini cukup indah, membuktikan bahwa Tana Samawa pernah melahirkan para penyalin mushaf yang hebat. Itu juga dibuktikan dengan dua mushaf lain yang ditulis pada 1867 dan 1869 oleh Haji Muhammad bin al-Marhum Sulaiman as-Sumbawi yang dicetak di Singapura.

Kenyataan bahwa mushaf yang ketiga ini disalin di Mekah, membuktikan bahwa jaringan ulama Sumbawa dengan Timur Tengah, pada paruh kedua abad ke-19, terjalin dengan baik.

Bahkan tidak hanya dalam hal keilmuan, menurut Pak Lalu Mahmud Abdul Majid, keluarga kesultanan, dahulu Sumbawa juga mengirim kayu sepang, kayu manis, dan sarang burung walet ke Tanah Suci.

Di pihak lain, pada masa sebelumnya, jaringan dengan sesama ulama Nusantara juga terjalin dengan baik, khususnya dengan ulama Bugis dari Sulawesi Selatan. Hubungan itu memang tidak diragukan, sebab kontak budaya antara keduanya telah terjadi selama ratusan tahun.

Terkunci di Lemari

Beberapa hari di Sumbawa, hingga hari terakhir, timbul rasa gêlo (Jawa: menyesal) yang mendalam karena saya hanya menjumpai dua Qur’an kuno.

Pak Lalu Mahmud memberi informasi bahwa saudaranya, di Kampung Pekat, menyimpan sebuah Qur’an kuno. Namun saudaranya itu tengah berkunjung ke Mataram, selama beberapa hari, sehingga tidak mungkin saya menunggu lebih lama.

Selain itu, sebenarnya di istana Bala Kuning juga terdapat tiga Qur’an yang disimpan di sebuah lemari. Namun lemari itu terkunci, dan tidak seorang pun tahu di mana kuncinya. Akhirnya saya menyerah.

Pesawat Garuda yang saya tumpangi untuk pulang ke Jakarta mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Sesampai di rumah, dengan santai saya hubungi Pak Mahmud melalui telepon untuk sekadar memberi tahu bahwa saya sudah sampai di Jakarta dan ingin mengucapkan terima kasih karena telah membantu pada waktu saya di Sumbawa.

Dengan suara agak keras dan terburu-buru, Pak Lalu Mahmud berkata, “Wa’alaikum salam, Pak Ali sekarang di mana? Kuncinya sudah ditemukan!”

Tiga Kolofon Qur'an Sumbawa

Kolofon (bahasa Inggris: colophon) adalah catatan pada naskah kuno yang biasanya berupa informasi tentang tarikh penyalinan, nama penyalin, pemrakarsa, dan sebagainya. Biasanya terletak di bagian akhir naskah.

Kebanyakan naskah kuno Nusantara tidak memiliki kolofon, namun ada tiga mushaf dari Sumbawa yang memiliki catatan yang cukup lengkap, sehingga kita dapat mengetahui nama penyalin dan tarikh penyalinannya.

Ketiga kolofon ini ditulis dalam bahasa Arab, menunjukkan bahwa kemampuan bahasa Arab para penyalin mushaf cukup baik. Sebuah kolofon pada naskah Qur'an yang disimpan di istana Bala Kuning, artinya:

“Selesai menyalin mushaf yang mulia ini hari Ahad pada waktu duha 28 Zulqa’dah di negeri Sumbawa pada zaman Maulana Sultan Muhammad Harun ar-Rasyid bin Sultan Muhammad Iqamuddin bin Sultan Muhammad Abdurrahman tahun 1199 hijrat Nabi [2 Oktober 1785] pemilik keutamaan selawat dan kesucian salam dengan khatt yang faqir, yang hina, yang mengakui dosa dan kekurangannya, yang mengharapkan ampunan Tuhannya Yang Mulia, Muhammad bin Abdullah al-Jawi al-Bugisi, Syafi’i mazhabnya, Sumbawa negerinya, kelahirannya, dan tanah airnya. Semoga Allah mengampuni mereka, kedua orang tua mereka, dan semua kaum muslimin. Amin. Saya meninggal, tulisanku abadi, semoga ia mendoakanku.”

Kolofon Qur'an Kesultanan Sumbawa, tahun 1785

Kolofon Qur'an lainnya, yang disimpan oleh Ibu Lala Mahtera, artinya:

“Selesai menyalin Al-Qur’an yang agung ini dengan pertolongan Allah, Raja yang Mulia, pada hari Kamis 24 Muharram tahun Zai 1254 Hijri [19 April 1838] dengan khat hamba yang paling fakir Abdurrahman bin Ayub bin Abdul Baqi as-Sumbawi semoga Allah mengampuninya dan merahmatinya juga bagi kedua orang tuaku dan seluruh kaum muslimin. Amin.”


Kolofon Qur'an Kesultanan Sumbawa, tahun 1838

Kolofon Qur'an lainnya, yang disimpan di Bala Kuning, menyatakan bahwa Qur'an ini disalin di Mekah. Bagian awal catatan naskah ini telah rusak sehingga tidak terbaca. Ditulis dalam bahasa Arab, artinya:

“Di negeri .. Makkah yang mulia, yang masyhur, pada bulan Sya’ban yang penuh berkah, pada hari Jumat waktu duha tahun seribu dua ratus delapan puluh Hijrahnya yang memiliki keagungan dan kemuliaan 1280 [Januari-Februari 1864] dengan tangan yang faqir kepada Tuhannya Yang Kaya, Abdurrahman bin al-marhum Musa as-Sumbawi, semoga Allah mengampuni kami, kedua orang tua kami, para pemimpin kami, serta seluruh muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat yang hidup dan yang telah wafat. Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam. Amin."

Tulisan oleh Ali Akbar. Penulis sejarah dan seni mushaf al-Qur'an di Asia Tenggara. Sekarang bekerja di Bayt al-Qur'an & Museum Istiqlal, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.

Comments

Popular posts from this blog

Labaong Bukit Timbunan Tulang, Cerita Rakyat Dalam Sebuah Buku

Judul: Labaong Bukit Timbunan Tulang Pengarang: Soedjono Masdi Samidjo Tebal Buku: 93 Halaman Buku karya Soedjono Masdi ini menceritakan tentang legenda tentang seorang Puteri Raja yang terbuang menjadi tutur pinutur dari generasi ke generasi. Konon di sebuah bukit ia dikucilkan karena tubuhnya menjijikan. Sang puteri itu menyatu dengan bukit itu. La Gawa  adalah seorang yang disegani di wilayahnya (Sumbawa), dia juga pemimpin bajak laut Bintang Tiga. Para Kolonial sangat benci dengannya, begitupula dengan mertua La Gawa sendiri (Rangga). La Gawa tidak pernah mematuhi perintah yang diberikan oleh mertuanya karena ia tahu bahwa mertuanya hanya mengingikan jabatan tinggi di kerajaan. Suatu hari La Gawa diusir oleh mertuanya karena ia tanpa sengaja telah memukuli istrinya sendiri. La Gawa pun menggembara tanpa seorng istri di sampingnya (Lala Bueng).  La Gawa bertekad akan berkorban demi rakyat serta wilayah tempat tinggal istrinya. La Gawa dating ke Port Roterdam di Makasar untuk menemui

Asal Mula Batu Balo

Batu Balo adalah cerita rakyat yang berkembang di tengah masyarakat Desa Empang Bawa, Kecamatan Empang, Sumbawa. Pada zaman dulu tersebutlah seorang raja bernama Raja Kepe. Raja Kepe memiliki seorang putri yang sangat cantik bernama Dara Belang. Tibalah suatu hari, sang raja memiliki keinginan yang sangat kuat untuk menikahkan putrinya dengan seorang raja asal negeri Garegat bernama Balo Kuntung. Hal ini dilakukan karena Raja Kepe telah memiliki hubungan yang sangat baik dengan keluarga Balo Kuntung tersebut. Mengetahui hal itu, Dara Belang sangat senang, dia akan mengakhiri masa mudanya karena akan segera dipersunting oleh Balo Kuntung yang telah diketahuinya memiliki rupa yang sangat tampan dan tubuh perkasa. Dara Belang pun tidak sabar menunggu hari baik dalam hidupnya itu. Hingga suatu hari, tersiar kabar bahwa Balo Kuntung dan keluarga besarnya akan mengunjungi keluarga Raja Kepe. Tibalah hari yang dinantikan kedua pihak keluarga, Balo Kuntung beserta rombonganpun segera berlayar

'Lalu Dia Lala Jinis' Cerita Rakyat Dalam Sebuah Novel

Sebuah novel karya sastrawan sumbawa Dinullah Rayes ini menceritakan tentang perjuangan cinta antara putri dari kerajaan seran yang sangat cantik jelita Lala Jinis dengan seorang pangeran yang tampan asal negeri Alas Lalu Dia. Cerita rakyat ini telah ada sejak zaman dahuluu dan turun temurun dikalangan masyarakat. Bahkan beberapa waktu lalu cerita rakyat yang sarat akan perjuangan cinta ini, pernah ditampilkan dalam sebuah drama oleh sanggar seni Lonto Engal ditaman budaya mataram dan terbilang sukses. Lala Jinis adalah seorang putri raja Seran yang sangat cantik jelita, oleh karena itu banyak laki-laki yang mengidamkannya, tak terkecuali Ran Pangantan, seorang putra panglima besar di kerajaan Seran kala itu. Terpesona oleh kecantikan serta latar belakang keluarga lala jinis yang kaya raya, Ran Pangantan bersama ayahandannya pun melamar sang putri. Niat Ran pangantan untuk mempersunting Lala jinis lansung diterima oleh sang Raja dan permaisuri. Dari situlah penderitaan Lala Jinis dimul