Oleh: Samasun Hidayat
(Akademisi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Mataram)
Saya lalu alihkan perhatian pada dua pemuda "asing" sambil menikmati es campur memandangi kuah soto yang baru saja pisah dari daging di piring putih bergambar bunga mawar. Mereka mengenakan seragam yang sama. Terlihat seperti karyawan salah satu "perusahaan" lokal.
Selain pilkada, Batu akik masih kuat menjadi menu pembicaraan mereka. Mengeluarkan satu persatu batu dari kantong dan saling mengomentari layaknya ahli. Melihat jari saya yang polos, salah satu dari mereka lalu bertanya "Tau Me Nye Mas?" (Dari mana Mas?")
"Empang" Saya tersenyum.
"Empang me mas (Empang mana Mas?)" tanyanya lagi
"Empang Bawa!"
"oooo...!" sambil matanya memeriksa tangan saya.
Pembicaraan singkat itu membuat saya merasa seolah ada sesuatu yang janggal. tanpa pikir panjang lalu Saya tanya balik
"Tau Jawa ke?" (Asli Jawa ya?)
"Siong si! Tau Samawa si kita Mas e" (Bukan! Asli Samawa kok) jawabnya dengan nada yang tegas.
"Ka kadu le pang Jawa ke?" (Pernah lama tinggal jawa?), Saya tanya lagi
"Nongka Kadu!" (tidak pernah!)
"Ada dengan tau Jawa?" (Punya teman orang Jawa?)
"Nonda" (tidak ada) jawabnya sambil asyik menikmati es campur.
"Aneh bin Ajaib" dalam hati saya sambil mengerutu.
Sejak kapan panggilan akrab orang Sumbawa untuk saudara menjadi Mas? inilah pertanyaan yang kemudian muncul selama perjalanan pulang ke rumah. nahkan di beberapa tempat panggilan Mas, dan Abang selalu mendominasi dari pada Naki (singkatan dari Sanak Salaki yang artinya Saudara). Sebagai orang yang menaruh perhatian dalam budaya, saya tidak lantas kemudian bermaksud mengatakan panggilan seperti itu tidak boleh. Karena saya tidak mau melanggar HAM. Hanya saja saya seolah menemukan interval inkonsistensi yang begitu lebar antara cita-cita budaya dan karakter masyarakat Sumbawa. Bagaimana tidak? Kita selalu bangga dan mengaku bahwa bangsa kita adalah yang selalu unggul, budaya kita yang lebih bagus, kearifan lokal kita tidak jauh kalah. sementara kenyataannya begitu jauh panggang dari api. Untuk hal-hal yang kecil, kita tidak sadar meletakkan budaya dan kearifan lokal di tong sampah.
Penggunaan panggilan Mas dan abang sepertinya telah menjadi pengganti dari Naki (Sanak Salaki). Karena beberapa merasa lebih gaul, kontekstual dan trend. dengan begitu secara tidak langsung mengatakan bahwa bahasa Samawa sebagai simbol utama budaya kita sangat tidak enak digunakan, dan katro (Jika tidak ingin dibilang Jelek). Mengenalkan Sumbawa kepada Nusantara, melalui SDA dan budaya rasanya masyarakat kita belum mampu. Kita lebih senang beronani dengan pikiran kita tentang bangsa yang paling unggul. Bahasa yang indah hanya sebatas pada lagu dan panggung pentas semata.
Membangun budaya sebagai strategi menuju Sumbawa yang bermartabat tidak melulu diraih dengan aksi-aksi besar di pentas dan program boros yang tidak substantif. Tetapi butuh pemahaman akan pentingnya membangun pondasi yang utuh sebagai bagian dari ketahanan budaya. Fenomena ini bisa menjadi salah satu indikator lemahnya ketahanan budaya Sumbawa terhadap budaya-budaya luar bahkan barat yang sangat bertentangan. Bahasa kita ibarat benteng yang kokoh. Melihat masyarakat kita yang semakin lama semakin tidak peduli dan tidak menghargai bahasa sendiri membuat saya miris dan pesimis terhadap nilai tawar kebudayaan yang ingin kita gunakan sebagai senjata memenangkan dunia. Kita tidak lebih terlihat seperti para kesatria berbaju baja yang bersemangat berangkat menuju medan pertempuran sementara tiang-tiang benteng dan rumah pertahanan kita telah dipasang dinamit yang siap meledak.
Bahasa selain sebagai alat komunikasi juga merupakan simbol budaya yang sarat nilai. Sebagai bangsa Sumbawa kita tentunya wajib menjunjung tinggi bahasa kita sebagai bagian dari jati diri. Sedangkan sebagai bangsa Indonesia kita pun wajib dan dituntut menjunjung bahasa bangsa lain yang menjadi bagian dari bangsa indonesia sebagai wujud dari saling mengangkat harkat dan martabat.
Comments
Post a Comment