Skip to main content

Sanak Salaki Dijajah Oleh Mas dan Abang



Oleh: Samasun Hidayat 
(Akademisi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Mataram) 

Bermula dari Nyoto Time di tengah "kota" Sumbawa. Saat itu matahari rasanya sedang membakar bangunan-bangunan. Beberapa kendaraan berseliwiran tak tentu arah, suara kelakson tidak pernah reda bernada peringatan sebagai ekspresiluapan emosi, motor-motor pun parkir berserakan di salah satu pertigaan "kota" yang baru saja mendapatkan penghargaan tertib lalu lintas itu.

Saya lalu alihkan perhatian pada dua pemuda "asing" sambil menikmati es campur memandangi kuah soto yang baru saja pisah dari daging di piring putih bergambar bunga mawar. Mereka mengenakan seragam yang sama. Terlihat seperti karyawan salah satu "perusahaan" lokal.

Selain pilkada, Batu akik masih kuat menjadi menu pembicaraan mereka. Mengeluarkan satu persatu batu dari kantong dan saling mengomentari layaknya ahli. Melihat jari saya yang polos, salah satu dari mereka lalu bertanya "Tau Me Nye Mas?" (Dari mana Mas?")
"Empang" Saya tersenyum.
"Empang me mas (Empang mana Mas?)" tanyanya lagi
"Empang Bawa!"
"oooo...!" sambil matanya memeriksa tangan saya.


Pembicaraan singkat itu membuat saya merasa seolah ada sesuatu yang janggal. tanpa pikir panjang lalu Saya tanya balik
"Tau Jawa ke?" (Asli Jawa ya?)
"Siong si! Tau Samawa si kita Mas e" (Bukan! Asli Samawa kok) jawabnya dengan nada yang tegas.
"Ka kadu le pang Jawa ke?" (Pernah lama tinggal jawa?), Saya tanya lagi
"Nongka Kadu!" (tidak pernah!)
"Ada dengan tau Jawa?" (Punya teman orang Jawa?)
"Nonda" (tidak ada) jawabnya sambil asyik menikmati es campur.
"Aneh bin Ajaib" dalam hati saya sambil mengerutu.


Sejak kapan panggilan akrab orang Sumbawa untuk saudara menjadi Mas? inilah pertanyaan yang kemudian muncul selama perjalanan pulang ke rumah. nahkan di beberapa tempat panggilan Mas, dan Abang selalu mendominasi dari pada Naki (singkatan dari Sanak Salaki yang artinya Saudara). Sebagai orang yang menaruh perhatian dalam budaya, saya tidak lantas kemudian bermaksud mengatakan panggilan seperti itu tidak boleh. Karena saya tidak mau melanggar HAM. Hanya saja saya seolah menemukan interval inkonsistensi yang begitu lebar antara cita-cita budaya dan karakter masyarakat Sumbawa. Bagaimana tidak? Kita selalu bangga dan mengaku bahwa bangsa kita adalah yang selalu unggul, budaya kita yang lebih bagus, kearifan lokal kita tidak jauh kalah. sementara kenyataannya begitu jauh panggang dari api. Untuk hal-hal yang kecil, kita tidak sadar meletakkan budaya dan kearifan lokal di tong sampah.

Penggunaan panggilan Mas dan abang sepertinya telah menjadi pengganti dari Naki (Sanak Salaki). Karena beberapa merasa lebih gaul, kontekstual dan trend. dengan begitu secara tidak langsung mengatakan bahwa bahasa Samawa sebagai simbol utama budaya kita sangat tidak enak digunakan, dan katro (Jika tidak ingin dibilang Jelek). Mengenalkan Sumbawa kepada Nusantara, melalui SDA dan budaya rasanya masyarakat kita belum mampu. Kita lebih senang beronani dengan pikiran kita tentang bangsa yang paling unggul. Bahasa yang indah hanya sebatas pada lagu dan panggung pentas semata.

Membangun budaya sebagai strategi menuju Sumbawa yang bermartabat tidak melulu diraih dengan aksi-aksi besar di pentas dan program boros yang tidak substantif. Tetapi butuh pemahaman akan pentingnya membangun pondasi yang utuh sebagai bagian dari ketahanan budaya. Fenomena ini bisa menjadi salah satu indikator lemahnya  ketahanan budaya Sumbawa terhadap budaya-budaya luar bahkan barat yang sangat bertentangan. Bahasa kita ibarat benteng yang kokoh. Melihat masyarakat kita yang semakin lama semakin tidak peduli dan tidak menghargai bahasa sendiri membuat saya miris dan pesimis terhadap nilai tawar kebudayaan yang ingin kita gunakan sebagai senjata memenangkan dunia. Kita tidak lebih terlihat seperti para kesatria berbaju baja yang bersemangat berangkat menuju medan pertempuran sementara tiang-tiang benteng dan rumah pertahanan kita telah dipasang dinamit yang siap meledak.

Bahasa selain sebagai alat komunikasi juga merupakan simbol budaya yang sarat nilai. Sebagai bangsa Sumbawa kita tentunya wajib menjunjung tinggi bahasa kita sebagai bagian dari jati diri. Sedangkan sebagai bangsa Indonesia kita pun wajib dan dituntut menjunjung bahasa bangsa lain yang menjadi bagian dari bangsa indonesia sebagai wujud dari saling mengangkat harkat dan martabat.

Comments

Popular posts from this blog

Sejarah Perkembangan Lawas Sumbawa

Sumbawa (Samawa) mempunyai karya sastra lisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sejak zaman dahulu, salah satunya dalam bentuk puisi lisan. Puisi lisan yang dikenal dengan nama lawas merupakan media komunikasi dan ekspresi bagi masyarakat pemiliknya. Lawas sebagai fenomena budaya merupakan cerminan dari nilai-nilai yang hidup pada masyarakat di zamannya, karena itu nilai budaya tersebut sangat bersifat kontekstual. Lawas sebagai salah satu bentuk sastra lisan dalam masyarakat Sumbawa (Samawa) merupakan fenomena kebudayaan yang akan tetap hadir di tengah-tengah masyarakatnya. Cerminan nilai budaya daerah telah digunakan dalam mengembangkan budaya nasional, sehingga menempatkan sastra lisan sebagai bagian dari kebudayaan nasional yang harus dilestarikan. Maka sudah sepantasnyalah mendapatkan perhatian dari semua pihak untuk menindaklanjuti semua itu dalam berbagai bentuk kegiatan. Lawas telah dimanfaatkan secara luas oleh masyarakatnya dalam berbagai...

Teluk Saleh Sumbawa, Rumahnya Pulau-Pulau Indah

Teluk Saleh, Pantai, pasir putih, lautan biru dan keragaman biota laut, merupakan suguhan menarik bagi para pecinta wisata bahari. Ada banyak lokasi menarik untuk menikmati kekayaan alam tersebut, begitupun apabila anda sedang berada di Pulau Sumbawa. Salah satu lokasi menarik untuk anda kunjungi ketika berlibur ke Pulau Sumbawa adalah Teluk Saleh yang memiliki keragaman dan kekayaan alam mengaggumkan. Nama Saleh dari teluk ini adalah nama yang hingga kini tak dikenal asal usulnya, tidak terdapat dalam catatan sejarah, baik catatan kuno maupun modern. Dalam beberapa Atlas lama, nama Teluk Saleh disebut “ Sallee”. Tapi yang jelas nama Saleh bukanlah nama raja-raja yang pernah berkuasa di pulau Sumbawa. Bukan pula nama seorang tokoh terkenal di Sumbawa. Jadi nama Saleh dari teluk ini masih merupakan sebuah misteri. Dalam bentangan luas laut birunya yang berkilau, teluk ini dihiasai oleh pulau-pulau cantik tak bertuan. Ada beberapa diantaranya yang dihuni oleh suku Bajo dan Bugis yang ber...

Sejarah Hubungan Kesultanan Sumbawa Dengan Kesultanan Banjar

Sejarah Hubungan Kesultanan Sumbawa Dengan Kesultanan Banjar (foto:Google) Sejak masa kerajaan dahulu atau sekitar abad ke-17, penduduk yang mendiami suatu daerah telah berbaur dengan daerah lain. Bugis, Makassar, Bali, Lombok dan sebagainya. Oleh karena itu tidak asing bagi suatu daerah termasuk di Sumbawa, kita telah mengenal berbagai suku yang ada di dalamnya. Termasuk di antarnaya Banjar. Tapi apakah suku ini memiliki hubungan dengan suku Sumbawa? tentu membutuhkan penalaran sejarah untuk mengungkapnya. Berikut beberapa catatan kecil tentang hubungan kesultanan Sumbawa dengan kesultanan Banjar. Periode Pertama Menurut hikayat Banjar dan Kotawaringin, pada masa pemerintahan sultan Banjar, sultan Rakyatullah (1660-1663) sempat menjalin hubungan bilateral dengan kerajaan Selaparang melalui ikatan perkawinan Raden Subangsa (Raden Marabut) bin pangeran Martasinga keturunan sultan Hidayatullah I bin sultan Rahmatullah yang menikah dengan Mas Surabaya puteri Selaparang. Hasil perkawinan t...