Skip to main content

Sepintas Mengenai Sejarah dan Asal-Usul Suku Samawa


 Nampak Jelas Keseharian Suku Sumbawa (Sumber Foto: Adventours Sumbawa)

Suku Sumbawa atau Tau Samawa, adalah suku yang terdapat di bagian barat pulau Sumbawa di provinsi Nusa Tenggara Barat Indonesia. Populasi suku Sumbawa adalah sebesar 500.000 orang. Suku Sumbawa tersebar di dua kabupaten, yaitu kabupaten Sumbawa dan kabupaten Sumbawa Barat yang meliputi kecamatan Empang di ujung timur hingga kecamatan Taliwang dan Sekongkang yang berada di ujung barat dan selatan pulau, termasuk 38 pulau kecil di sekitarnya.

Suku Sumbawa sendiri, selama beberapa abad ini mengalami percampuran dengan etnis pendatang, seperti etnis dari jawa, sumatra, sulawesi, kalimantan dan cina serta arab. Suku Sumbawa yang telah bercampur dengan etnis lain ini, biasanya bermukim di dataran rendah dan daerah-daerah pesisir. Sedangkan suku Sumbawa yang masih asli menempati dataran tinggi pegunungan seperti Tepal, Dodo dan Labangkar. Suku Sumbawa berbicara dalam bahasa Sumbawa. Bahasa Sumbawa menjadi bahasa persatuan atau bahasa pengantar di pulau ini, sehingga etnis-etnis pendatang yang tinggal di pulau ini pun berbicara dalam bahasa Sumbawa.

Menurut Mahsun (2002), bahwa bahasa Sumbawa Purba pecah menjadi 4 dialek yang ada sekarang ini, sebelumnya terdiri dari 2 dialek, yaitu dialek Taliwang-Jereweh-Tongo dan dialek Sumbawa besar yang menjadi cikal bakal dialek Seran. Kemudian berkembang lagi seiring perjalanan waktu hingga memasuki fase historis, dialek Taliwang-Jereweh-Tongo pecah lagi menjadi 3 dialek yang berdiri sendiri.

Dalam bahasa Sumbawa sekarang dikenal beberapa dialek bahasa berdasarkan daerah penyebarannya, yaitu dialek Samawa, Baturotok (Batulante) dan dialek-dialek lain yang dipakai di daerah pegunungan Ropang seperti Labangkar, Lawen (Selesek), serta penduduk di sebelah selatan Lunyuk, selain juga terdapat dialek Taliwang, Jereweh dan dialek Tongo. Selain itu masih terdapat sejumlah variasi dialek regional yang dipakai oleh komunitas tertentu, misalnya dialek Taliwang yang diucapkan oleh penutur di Labuhan Lalar, yang merupakan keturunan campuran etnis Bajau yang berbeda dengan dialek Taliwang yang diucapkan oleh orang di kampung Sampir yang merupakan keturunan campuran etnis Mandar, Bugis dan Makassar.

 Nampak Jelas Keseharian Suku Sumbawa (Sumber Foto: Adventours Sumbawa)

Bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di daerah Sumbawa, berupa sarkofagus, nakara dan menhir, mengindikasikan bahwa Sumbawa Purba telah memiliki kepercayaan dan bentuk-bentuk ritual penyembahan kepada arwah nenek moyang mereka. Konsep-konsep tentang kosmologi dan perlunya menjaga keseimbangan antara dirinya dengan makrokosmos terus diwariskan lintas generasi hingga masuknya kebudayaan Hindu-Budha, bahkan peradaban Islam di Sumbawa. 

Diperkirakan agama Hindu-Budha berkembang pesat di kerajaan-kerajaan kecil Sumbawa sekitar dua ratus tahun sebelum masuknya Kerajaan Majapahit ke wilayah Sumbawa ini. Beberapa kerajaan itu antara lain: Kerajaan Dewa Mas Kuning di Selesek (Ropang), Kerajaan Airenung (Moyo Hulu), Kerajaan Awan Kuning di Sampar Semulan (Moyo Hulu), Kerajaan Gunung Setia (Sumbawa), Kerajaan Dewa Maja Paruwa (Utan), Kerajaan Seran (Seteluk), Kerajaan Taliwang, dan Kerajaan Jereweh. Masyarakat suku Sumbawa mayoritas memeluk agama Islam.

Menurut Zolinger, agama Islam masuk ke pulau Sumbawa antara tahun 1450–1540 yang dibawa oleh para pedagang Islam dari Jawa dan Melayu, khususnya Palembang. Orang Sumbawa termasuk fanatik dalam memeluk agama Islam. Bahkan begitu sensitif dan mudah digelorakan untuk berjihad demi membela kepentingan agamanya, serta kelihatan antipati dan menolak terhadap bentuk-bentuk keyakinan agama lain selain Islam.

Namun dalam praktek keseharian, mereka masih percaya pada makhluk-makhluk halus yang dianggap bisa mendatangkan musibah berupa bencana dan penyakit pada manusia. Mereka percaya adanya baki atau makhluk halus yang tinggal di hutan dan di pohon-pohon besar, terutama beringin, kono atau makhluk halus yang sering berkeliaran di tempat-tempat sepi di siang hari, dan leak atau orang jahat yang bisa berubah menjadi binatang dan gemar makan ketuban serta minum darah bayi yang baru dilahirkan.

Sistem kekerabatan dan keturunan suku Sumbawa adalah bilateral, yaitu sistem penarikan garis keturunan berdasarkan garis silsilah nenek moyang laki-laki dan perempuan secara serentak. Dalam sistem kekerabatan ini, baik kerabat pihak ayah mapun pihak ibu diklasifikasikan menjadi satu dengan istilah yang sama, misalnya "eaq" untuk saudara tua ayah atau ibu, dan "nde" untuk saudara yang lebih muda dari ayah atau ibu. Kelompok keluarga yang lebih luas yaitu pata, yaitu kerabat dari laki-laki atau wanita yang ditarik dari kakek atau nenek moyang sampai derajat keenam, sehingga dalam masyarakat Sumbawa dikenal sepupu satu, sepupu dua sampai sepupu enam.


Tata cara perkawinan dalam masyarakat Sumbawa diselenggarakan dengan upacara adat yang kompleks, mirip dengan prosesi perkawinan adat Bugis-Makassar yang diawali dengan bakatoan (bajajak), basaputis, nyorong dan upacara barodak pada malam hari menjelang kedua calon pengantin dinikahkan. Upacara barodak ini mengandung unsur-unsur kombinasi ritual midodareni dan ruwatan dalam tradisi Jawa. Masyarakat suku Sumbawa pada umumnya hidup pada bidang pertanian. Mereka menanam padi di sawah dengan menggunakan peralatan tardisional berupa cangkul atau bingkung, rengala, dan kareng sebagai peralatan bajak dengan memanfaatkan hewan peliharaan seperti sapi dan kerbau.

Dalam menggarap ladang mereka masih menggunakan cara tradisional, yaitu dengan membakar lahan pertanian agar mempermudah proses penanaman beberapa jenis tanaman pangan. Kegiatan lain adalah menangkap ikan. Mereka menggunakan peralatan seperti pancing, kodong dan belat yang berfungsi sebagai perangkap dimanfaatkan untuk menangkap ikan di sungai ataupun di rawa-rawa, sedangkan peralatan berupa jaring dipakai untuk menangkap ikan di laut.

Selain itu mereka juga berburu (nganyang) dengan menggunakan peralatan tear atau tombak dan poke atau tombak bermata dua, lamar atau jerat, dan dengan membawa beberapa ekor anjing pemburu. Kegiatan lain mereka adalah meramu hasil hutan untuk dijadikan bahan makanan seperti umbi-umbian, buyak atau pucuk-pucuk rotan, serampin atau sari batang enau, madu lebah, jamur-jamuran, dan akar-akaran sebagai bahan pembuatan minyak tradisional. Mereka juga memelihara hewan ternak seperti kuda, sapi, dan kerbau yang biasanya dilepas di padang-padang gembala.

Sekiranya itulah sedikit gambaran besar mengenai suku samawa atau sumbawa, kami akan mencari beberapa referensi lain yang mungkin berguna untuk pembaca sebagai bahan untuk penulisan kami.

Sumber: wikipedia dan beberapa referensi berupa buku dan journal. Foto: oleh Adventours Sumbawa

Comments

Popular posts from this blog

Sejarah Perkembangan Lawas Sumbawa

Sumbawa (Samawa) mempunyai karya sastra lisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sejak zaman dahulu, salah satunya dalam bentuk puisi lisan. Puisi lisan yang dikenal dengan nama lawas merupakan media komunikasi dan ekspresi bagi masyarakat pemiliknya. Lawas sebagai fenomena budaya merupakan cerminan dari nilai-nilai yang hidup pada masyarakat di zamannya, karena itu nilai budaya tersebut sangat bersifat kontekstual. Lawas sebagai salah satu bentuk sastra lisan dalam masyarakat Sumbawa (Samawa) merupakan fenomena kebudayaan yang akan tetap hadir di tengah-tengah masyarakatnya. Cerminan nilai budaya daerah telah digunakan dalam mengembangkan budaya nasional, sehingga menempatkan sastra lisan sebagai bagian dari kebudayaan nasional yang harus dilestarikan. Maka sudah sepantasnyalah mendapatkan perhatian dari semua pihak untuk menindaklanjuti semua itu dalam berbagai bentuk kegiatan. Lawas telah dimanfaatkan secara luas oleh masyarakatnya dalam berbagai...

Teluk Saleh Sumbawa, Rumahnya Pulau-Pulau Indah

Teluk Saleh, Pantai, pasir putih, lautan biru dan keragaman biota laut, merupakan suguhan menarik bagi para pecinta wisata bahari. Ada banyak lokasi menarik untuk menikmati kekayaan alam tersebut, begitupun apabila anda sedang berada di Pulau Sumbawa. Salah satu lokasi menarik untuk anda kunjungi ketika berlibur ke Pulau Sumbawa adalah Teluk Saleh yang memiliki keragaman dan kekayaan alam mengaggumkan. Nama Saleh dari teluk ini adalah nama yang hingga kini tak dikenal asal usulnya, tidak terdapat dalam catatan sejarah, baik catatan kuno maupun modern. Dalam beberapa Atlas lama, nama Teluk Saleh disebut “ Sallee”. Tapi yang jelas nama Saleh bukanlah nama raja-raja yang pernah berkuasa di pulau Sumbawa. Bukan pula nama seorang tokoh terkenal di Sumbawa. Jadi nama Saleh dari teluk ini masih merupakan sebuah misteri. Dalam bentangan luas laut birunya yang berkilau, teluk ini dihiasai oleh pulau-pulau cantik tak bertuan. Ada beberapa diantaranya yang dihuni oleh suku Bajo dan Bugis yang ber...

Sejarah Hubungan Kesultanan Sumbawa Dengan Kesultanan Banjar

Sejarah Hubungan Kesultanan Sumbawa Dengan Kesultanan Banjar (foto:Google) Sejak masa kerajaan dahulu atau sekitar abad ke-17, penduduk yang mendiami suatu daerah telah berbaur dengan daerah lain. Bugis, Makassar, Bali, Lombok dan sebagainya. Oleh karena itu tidak asing bagi suatu daerah termasuk di Sumbawa, kita telah mengenal berbagai suku yang ada di dalamnya. Termasuk di antarnaya Banjar. Tapi apakah suku ini memiliki hubungan dengan suku Sumbawa? tentu membutuhkan penalaran sejarah untuk mengungkapnya. Berikut beberapa catatan kecil tentang hubungan kesultanan Sumbawa dengan kesultanan Banjar. Periode Pertama Menurut hikayat Banjar dan Kotawaringin, pada masa pemerintahan sultan Banjar, sultan Rakyatullah (1660-1663) sempat menjalin hubungan bilateral dengan kerajaan Selaparang melalui ikatan perkawinan Raden Subangsa (Raden Marabut) bin pangeran Martasinga keturunan sultan Hidayatullah I bin sultan Rahmatullah yang menikah dengan Mas Surabaya puteri Selaparang. Hasil perkawinan t...