Skip to main content

Asal Mula Batu Pampang Lunyuk

Batu pampang merupakan salah satu objek wisata yang ada di Kecamatan Lunyuk. Adanya batu bercabang di pinggir pantai yang terletak 7 km dari ibukota Kecamatan Lunyuk diyakini memiliki cerita sejarah yang hingga saat ini masih dipeliahara dikalangan orang-orang tua di Kecamatan Lunyuk. Secara etimologi, kata batu pampang memiliki arti batu yang bercabang, Pampang (bahasa Sumbawa) berarti cabang sehingga batu pampang diartikan sebagai batu yang bercabang.

Batu Pampang Lunyuk

Dahulu kala, masyarakat di daerah selatan Lunyuk yakni di Desa Geranta (sekarang beranama Desa Sampar Goal)  masih gemar menikmati makanan khas tau loka yakni mama’ , dan pada saat itu datanglah pedagang dari bugis Sumbawa bernama Datu Maceni untuk berdagang makanan khas seperti sirih, kapur dan alat kelangkapan mama’ lainnya.

Karena menempuh perjalanan cukup jauh untuk menuju desa geranta, akhirnya datu maceni beristirahat sejenak di pinggiran hutan untuk menyantap bekal makanan yang telah dibawa. Ditengah peristirahatannya itu Datu Maceni didatangi oleh seorang nenek tua bernama Nyai Seruni.

Datu Maceni sempat kaget dan bingung karena tidak mungkin ada orang tu berjalan sendirian di tengah hutan. Nyai Seruni langsung menyapa. “ Hendak kemana nak “ Tanya Nyai Seruni, Datu menjawab “ Saya hendak ke Desa Geranta untuk menjual Mama’,” jawab Datu. “kalau begitu mampir dulu di kediaman saya di Desa Selimir, “ ajak Nyai Seruni. Datu menjawab “ Saya akan mampir setelah saya pulang berdagang dari Desa Geranta Nyai,” jawab Datu.

Akhirnya datu langsung berjalan meninggalkan Nyai Seruni dan melanjutkan perjalanan ke Desa Geranta. Untuk diketahui Desa Selimir merupakan desa yang tidak dapat dilihat oleh mata biasa. Sampai saat ini orang-orang yang tinggal di Selatan Kecamatan Lunyuk tetap percaya bahwa Desa Selimir itu ada dan tidak sembarang orang yang dapat masuk ke Desa Selimir.

Singkat cerita, dagangan yang dibawa oleh datu Maceni ke Desa Geranta habis dibeli oleh masyarakat sekitar. Setelah dagangannya habis, Datu Maceni akhirnya pulang dan meninggalkan Desa Geranta. Namun ditengah perjalanannya ia kembali bertemu dengan Nyai Seruni, dan Datu pun tidak bisa menolak ajakan Nyai seruni untuk mampir ke Desa Selimir.

Datu Maceni kaget karena hanya dengan berjalan sepuluh langkah sudah sampai ke Desa Selimir. Datu kaget melihat orang-orang berajalan dan melakukan aktivitas perdagangan, selain itu rumah-rumah yang ada di Desa Selimir sangat indah dan bersih. Nyai Seruni mengajak datu mampir ke rumahnya yang indah.

Ditengah pembicaraannya dengan Nyai seruni, Datu kaget bukan kepalang karena Nyai seruni berubah menjadi cantik dan meminta datu untuk menikahinya. Tawaran tersebut langsung ditolak oleh datu meskipun Nyai Seruni memintanya berulang kali. Tak kuasa melihat Nyai yang terus menerus memintanya untuk menikah, datu meminta pamit untuk pulang. Dengan cepat datu meninggalkan kediaman Nyai Seruni. Tiba-tiba ditengah jalan datu Maceni kebingungan untuk mencari jalan keluar dari Desa Selimir.

Usut punya usut, datu pun kembali kerumah Nyai Seruni untuk meminta peta jalan keluar dari Desa Selimir. Akhirnya Nyai Seruni memberikan sebuah cincin kepada datu untuk keluar dari Desa Selimir seraya menunjukkan kearah selatan tepatnya kearah batu besar kokoh yakni BATU PAMPANG. “Keluarlah lewat batu besar itu, dan jangan lupa kamu harus rajin melihat dan memelihara batu besar itu,” ungkap Nyai Seruni.

Setelah mengikuti arahan dari Nyai Seruni, akhirnya Datu Maceni bisa keluar dari Desa Selimir dengan melewati batu Pampang. Sampai saat ini batu pampang tetap kokoh berdiri dan dijadikan sebagai objek wisata. Sebagian masyarakat Lunyuk dan luar daerah sampai dengan saat ini masih melakukan ritual bayar nasar ke batu pampang.

Comments

Popular posts from this blog

Sejarah Perkembangan Lawas Sumbawa

Sumbawa (Samawa) mempunyai karya sastra lisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sejak zaman dahulu, salah satunya dalam bentuk puisi lisan. Puisi lisan yang dikenal dengan nama lawas merupakan media komunikasi dan ekspresi bagi masyarakat pemiliknya. Lawas sebagai fenomena budaya merupakan cerminan dari nilai-nilai yang hidup pada masyarakat di zamannya, karena itu nilai budaya tersebut sangat bersifat kontekstual. Lawas sebagai salah satu bentuk sastra lisan dalam masyarakat Sumbawa (Samawa) merupakan fenomena kebudayaan yang akan tetap hadir di tengah-tengah masyarakatnya. Cerminan nilai budaya daerah telah digunakan dalam mengembangkan budaya nasional, sehingga menempatkan sastra lisan sebagai bagian dari kebudayaan nasional yang harus dilestarikan. Maka sudah sepantasnyalah mendapatkan perhatian dari semua pihak untuk menindaklanjuti semua itu dalam berbagai bentuk kegiatan. Lawas telah dimanfaatkan secara luas oleh masyarakatnya dalam berbagai...

Teluk Saleh Sumbawa, Rumahnya Pulau-Pulau Indah

Teluk Saleh, Pantai, pasir putih, lautan biru dan keragaman biota laut, merupakan suguhan menarik bagi para pecinta wisata bahari. Ada banyak lokasi menarik untuk menikmati kekayaan alam tersebut, begitupun apabila anda sedang berada di Pulau Sumbawa. Salah satu lokasi menarik untuk anda kunjungi ketika berlibur ke Pulau Sumbawa adalah Teluk Saleh yang memiliki keragaman dan kekayaan alam mengaggumkan. Nama Saleh dari teluk ini adalah nama yang hingga kini tak dikenal asal usulnya, tidak terdapat dalam catatan sejarah, baik catatan kuno maupun modern. Dalam beberapa Atlas lama, nama Teluk Saleh disebut “ Sallee”. Tapi yang jelas nama Saleh bukanlah nama raja-raja yang pernah berkuasa di pulau Sumbawa. Bukan pula nama seorang tokoh terkenal di Sumbawa. Jadi nama Saleh dari teluk ini masih merupakan sebuah misteri. Dalam bentangan luas laut birunya yang berkilau, teluk ini dihiasai oleh pulau-pulau cantik tak bertuan. Ada beberapa diantaranya yang dihuni oleh suku Bajo dan Bugis yang ber...

Sejarah Hubungan Kesultanan Sumbawa Dengan Kesultanan Banjar

Sejarah Hubungan Kesultanan Sumbawa Dengan Kesultanan Banjar (foto:Google) Sejak masa kerajaan dahulu atau sekitar abad ke-17, penduduk yang mendiami suatu daerah telah berbaur dengan daerah lain. Bugis, Makassar, Bali, Lombok dan sebagainya. Oleh karena itu tidak asing bagi suatu daerah termasuk di Sumbawa, kita telah mengenal berbagai suku yang ada di dalamnya. Termasuk di antarnaya Banjar. Tapi apakah suku ini memiliki hubungan dengan suku Sumbawa? tentu membutuhkan penalaran sejarah untuk mengungkapnya. Berikut beberapa catatan kecil tentang hubungan kesultanan Sumbawa dengan kesultanan Banjar. Periode Pertama Menurut hikayat Banjar dan Kotawaringin, pada masa pemerintahan sultan Banjar, sultan Rakyatullah (1660-1663) sempat menjalin hubungan bilateral dengan kerajaan Selaparang melalui ikatan perkawinan Raden Subangsa (Raden Marabut) bin pangeran Martasinga keturunan sultan Hidayatullah I bin sultan Rahmatullah yang menikah dengan Mas Surabaya puteri Selaparang. Hasil perkawinan t...