Skip to main content

Gunung Tambora dan Penemuan Sepeda

Gunung Tambroa Meletus Pada 1816

Letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa 200 tahun lalu adalah yang terdahsyat sepanjang masa yang tercatat pada era modern. Letusan hebat itu mengakibatkan bencana ekologi di Eropa.

Epidemi, kelaparan, kematian massal. Itulah dampak letusan Gunung Tambora 200 tahun lalu di Eropa. Letusan hebat itu pada tahun berikutnya mengakibatkan bencana ekologi di benua Eropa.

Tahun 1816, bencana ekologi global kemudian dicatat sejarah sebagai Tahun Tanpa Musim Panas. Di Eropa dan Amerika Utara, cuaca kacau. Hujan turun terus menerus, suhu membeku terjadi di bulan Juni dan Juli, saat-saat musim panas seharusnya tiba. Berbagai daerah mengalami gagal panen, yang kemudian mengakibatkan bencana kelaparan besar-besaran.

Di Jerman, menurut catatan sejarah, antara bulan Mei dan September 1816 hanya ada sekitar 20 hari tanpa hujan. Setelah itu datang musim dingin panjang. Penduduk harus makan kulit pepohonan untuk bertahan hidup. Ketika itu, belum ada yang menyadari bahwa bencana ekologi itu adalah dampak dari letusan Gunung Tambora di belahan bumi lain.

Bencana ekologi di Eropa dan Amerika

70.000 sampai 100.000 orang diperkirakan tewas akibat dampak langsung dari bencana itu. Bahkan ilmuwan dan budayawan Amerika Serikat Gillen D'Arcy Wood dalam bukunya "Tambora: The Eruption That Changed the World," memperkirakan sekitar 1 juta orang yang meninggal ketika itu.

Iklim global mengalami kekacauan selama hampir tiga tahun. Suhu udara rata-rata berada 3 derajat Celcius di bawah normal. Kelaparan dan situasi darurat terjadi di mana-mana. Bahkan di Cina, bencana kelaparan memaksa para petani menjual anak-anak mereka, hanya untuk sesuap nasi. Di India, hujan berkepanjangan mengakibatkan banjir besar.

Adalah ahli botani asal Swiss Heinrich Zollinger yang menjadi peneliti pertama yang mendaki Gunung Tambora tahun 1847, 32 tahun setelah letusan dahsyat itu, dan mengungkap hubungan antara Tambora dan bencana ekologi itu. Dia berhasil mencapai kaldera Tambora pada ketinggian sekitar 2900 meter dan memperkirakan, tinggi Tambora sebelum letusan mencapai 4000 meter.

Zöllinger ketika itu bekerja sebagai kolektor dan peneliti tanaman untuk Kerajaan Belanda dan dikirim ke Hindia Belanda tahun 1842. Ia kembali ke Swiss pada 1847 setelah mendaki Tambora.

Heinrich Zöllinger sempat kembali ke Jawa tahun 1955 untuk melanjutkan penelitian botaninya. Patungnya sekarang ada di Botanischer Garten Zürich (Kebun Raya Zurich).

Di Jerman, tahun 1816 diingat sebagai Tahun Kesengsaraan. Di beberapa daerah, misalnya di Baden, Württemberg dan Bayern, harga gandum naik drastis sampai tiga kali lipat.

Thomas Schnabel, Direktur Musium Sejarah negagara bagian Baden Württemberg menerangkan, penduduk pada masa itu belum tahu apa yang menyebabkan bencana ekologi itu. Mereka hanya mengalami masa hujan dan salju panjang selama periode April sampai September. Gandum, kentang dan buah-buahan membusuk, roti cepat rusak.

"Tapi jangan lupa, bencana yang sebenarnya terjadi di Indonesia", kata Schnabel. Lebih 100.000 orang diperkirakan tewas terkena hujan abu panas dan tsunami yang muncul setelah letusan. Tambora memuntahkan debu dan batu-batuan sampai pada ketinggian 70 kilometer.

Bencana itu didokumentasikan di Eropa dengan berbagai cara. Menurut Schnabel, ada legenda bahwa bencana ekologi dan suasana gelap itu yang memberi inspirasi pengarang Mary Shelley menulis kisah seramnya "Frankenstein" tahun 1818. Karena transportasi dengan kuda makin sulit, bangsawan Freiherr von Drais waktu itu mengembangkan konstruksi sepeda yang pertama.

Comments

Popular posts from this blog

Asal Mula Batu Balo

Batu Balo adalah cerita rakyat yang berkembang di tengah masyarakat Desa Empang Bawa, Kecamatan Empang, Sumbawa. Pada zaman dulu tersebutlah seorang raja bernama Raja Kepe. Raja Kepe memiliki seorang putri yang sangat cantik bernama Dara Belang. Tibalah suatu hari, sang raja memiliki keinginan yang sangat kuat untuk menikahkan putrinya dengan seorang raja asal negeri Garegat bernama Balo Kuntung. Hal ini dilakukan karena Raja Kepe telah memiliki hubungan yang sangat baik dengan keluarga Balo Kuntung tersebut. Mengetahui hal itu, Dara Belang sangat senang, dia akan mengakhiri masa mudanya karena akan segera dipersunting oleh Balo Kuntung yang telah diketahuinya memiliki rupa yang sangat tampan dan tubuh perkasa. Dara Belang pun tidak sabar menunggu hari baik dalam hidupnya itu. Hingga suatu hari, tersiar kabar bahwa Balo Kuntung dan keluarga besarnya akan mengunjungi keluarga Raja Kepe. Tibalah hari yang dinantikan kedua pihak keluarga, Balo Kuntung beserta rombonganpun segera berla...

Labaong Bukit Timbunan Tulang, Cerita Rakyat Dalam Sebuah Buku

Judul: Labaong Bukit Timbunan Tulang Pengarang: Soedjono Masdi Samidjo Tebal Buku: 93 Halaman Buku karya Soedjono Masdi ini menceritakan tentang legenda tentang seorang Puteri Raja yang terbuang menjadi tutur pinutur dari generasi ke generasi. Konon di sebuah bukit ia dikucilkan karena tubuhnya menjijikan. Sang puteri itu menyatu dengan bukit itu. La Gawa  adalah seorang yang disegani di wilayahnya (Sumbawa), dia juga pemimpin bajak laut Bintang Tiga. Para Kolonial sangat benci dengannya, begitupula dengan mertua La Gawa sendiri (Rangga). La Gawa tidak pernah mematuhi perintah yang diberikan oleh mertuanya karena ia tahu bahwa mertuanya hanya mengingikan jabatan tinggi di kerajaan. Suatu hari La Gawa diusir oleh mertuanya karena ia tanpa sengaja telah memukuli istrinya sendiri. La Gawa pun menggembara tanpa seorng istri di sampingnya (Lala Bueng).  La Gawa bertekad akan berkorban demi rakyat serta wilayah tempat tinggal istrinya. La Gawa dating ke Port Roterdam di Makasar untu...

Sejarah Perkembangan Lawas Sumbawa

Sumbawa (Samawa) mempunyai karya sastra lisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sejak zaman dahulu, salah satunya dalam bentuk puisi lisan. Puisi lisan yang dikenal dengan nama lawas merupakan media komunikasi dan ekspresi bagi masyarakat pemiliknya. Lawas sebagai fenomena budaya merupakan cerminan dari nilai-nilai yang hidup pada masyarakat di zamannya, karena itu nilai budaya tersebut sangat bersifat kontekstual. Lawas sebagai salah satu bentuk sastra lisan dalam masyarakat Sumbawa (Samawa) merupakan fenomena kebudayaan yang akan tetap hadir di tengah-tengah masyarakatnya. Cerminan nilai budaya daerah telah digunakan dalam mengembangkan budaya nasional, sehingga menempatkan sastra lisan sebagai bagian dari kebudayaan nasional yang harus dilestarikan. Maka sudah sepantasnyalah mendapatkan perhatian dari semua pihak untuk menindaklanjuti semua itu dalam berbagai bentuk kegiatan. Lawas telah dimanfaatkan secara luas oleh masyarakatnya dalam berbagai...