Skip to main content

Mengintip Jejak Gajah Mada Hingga Wali Songo di Tanah Bima



Sebagian masyarakat Bima percaya, Gajah Mada sebetulnya juga orang Bima. Bagi awam, ini keyakinan yang agak janggal. Apa mungkin kerajaan Jawa Majapahit mau mengangkat seorang ”asing” sebagai mahapatih alias panglima perangnya?

Gajah Mada adalah tokoh yang hidup pada abad ke-14, masa hubungan antar-etnis di Nusantara pastinya belum seakrab sekarang. Untuk ukuran masa itu, Bima merupakan daerah yang letaknya relatif jauh dari pusat Kerajaan Majapahit di Kediri, Jawa Timur.

Memang, bukannya tak mungkin Gajah Mada orang Bima. ”Jejak-jejak” masa silam yang diduga berhubungan dengan Sang Mahapatih terserak di berbagai tempat di ujung timur Pulau Sumbawa itu.

”Kata orang, kuburan Gajah Mada ada di daerah Donggo,” ujar perempuan tokoh masyarakat dan peneliti sejarah Bima, Siti Maryam Rachmat (86), yang beberapa waktu lalu ditemui di rumahnya di Kota Bima. Donggo adalah daerah kecamatan yang berada di antara kaki-kaki Gunung Salunga dan Gunung Soromandi (4.775 meter di atas permukaan laut), gunung tertinggi di wilayah Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, sekarang.

Siti Maryam (86) menambahkan, sampai awal zaman kemerdekaan, kuburan itu masih sering ”diupacarai” masyarakat sekitar. ”Tempat yang diduga makam itu juga sudah sering diteliti para ahli, termasuk oleh arkeolog dari Universitas Indonesia, tapi saya belum pernah mendengar hasilnya,” tambahnya.

Seorang warga Sumbawa lain yang juga penggemar sejarah menulis, di Donggo, tepatnya di Desa Padende, terdapat dua peninggalan purbakala. Pertama, batu berbentuk lesung yang oleh masyarakat sekitar disebut Wadu Nocu (Batu Lesung). Yang kedua, apa yang disebut Tolo Wadu Tunti (Sawah Batu Tulis), sawah di mana ada batu bertulis.

Di situs yang disebut terakhir terdapat sejumlah arca purbakala seperti yang biasa ditemukan di Jawa. ”Ada patung Dewa Syiwa berdiri sendirian dengan patung dua pengiringnya yang berada di sebelah selatan,” kata Katiano Gamesa dalam situs blognya.

Masih menurut Katiano, masyarakat setempat meyakini Wadu Nocu merupakan lokasi kuburan Gajah Mada. Keyakinan ini diwariskan turun-temurun lewat cerita oleh keluarga penjaga kuburan. Keyakinan semakin diperkuat oleh kenyataan bahwa kuburan Gajah Mada tidak pernah ditemukan di Jawa dan bahwa dalam kitab Jawa Kuno Pararaton ada disebutkan, di akhir masa hidupnya Patih Gajah Mada pergi meninggalkan Keraton Majapahit ke arah timur.

Keberadaan Gajah Mada di Bima juga terekam dalam Nagarakartagama (1364), kitab kuno gubahan Mpu Prapanca yang sohor itu. Seperti dikutip Muhammad Yamin dalam bukunya Gajah Mada Pahlawan Pemersatu Nusantara, di buku yang ditulis dalam bahasa Kawi itu disebutkan bahwa Gajah Mada melakukan perjalanan ke berbagai daerah yang ada di sebelah timur Pulau Jawa, termasuk daerah-daerah di Pulau Sumbawa, seperti Taliwang, Dompo (Dompu), Sapi, Sanghyang Api (Pulau Sengeang), dan juga Bima.

Sementara kebenaran Gajah Mada sebagai putra daerah Bima masih bisa diperdebatkan, ada bukti-bukti yang jauh lebih kuat yang menunjukkan bahwa Bima pada mulanya memang kerajaan lokal bentukan Majapahit, yang di zamannya merupakan sebuah negara adidaya Nusantara.

Tulisan-tulisan sejarah purbakala Bima sering menyebutkan, Kerajaan Bima—yang kemudian jadi Kesultanan Bima—didirikan setelah Gajah Mada mendarat di sana dalam pelayaran ekspedisi untuk menyatukan Nusantara, sesuai Sumpah Palapa yang diikrarkan Gajah Mada di hadapan Ratu Tribhuwana Tunggadewi saat ia diangkat menjadi mahapatih pada tahun 1334.

Nama Kerajaan Bima konon diambil dari nama rajanya yang pertama, Bima, yang berasal dari Majapahit. Raja ini memiliki dua anak laki-laki, Indra Zamrud dan Indra Kumala. Sebagai anak pertama, Indra Zamrud kemudian dinobatkan sebagai raja berikutnya. Ia terus menetap di Bima, sedangkan Sang Ayah kembali pulang ke Jawa.

Dua anak laki-laki itu didapat Bima setelah ia memperistri perempuan setempat. Mungkin karena itu orang Bima hingga kini juga biasa menyebut daerah mereka sebagai Mbojo, nama yang berasal dari kata Jawa ”bojo”, yang berarti ”istri”.

Bersama sejumlah situs purbakala lain dari zaman Hindu yang juga ditemukan di Bima, Wadu Nocu dan Tolo Wadu Tunti bisa jadi merupakan sisa-sisa candi peninggalan peradaban Hindu, yang masuk ke Pulau Sumbawa bersama kedatangan Gajah Mada dan bala tentara Majapahit pada tahun 1377, di masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk.

Jejak Islam

Angin perubahan berembus di Bima sekitar tiga abad setelah kedatangan Gajah Mada dan peradaban Hindu di sana. Seperti tertulis dalam salah satu bo atau kitab catatan kerajaan, pada tahun 1640 Ruma Ta Ma Bata Wadu, Raja Bima ke-27, menikah dengan perempuan bernama Daeng Sikontu, adik istri Sultan Makassar Alauddin yang Islam.

”Karena perkawinan itu, Sang Raja memeluk agama Islam. Ia pun mengganti gelar dan nama menjadi Sultan Abdul Kahir. Ialah raja Bima pertama yang beragama Islam,” ujar Siti Maryam. Seiring dengan itu, Kerajaan Bima pun berganti sebutan menjadi Kesultanan Bima dengan Abdul Kahir sebagai sultan pertamanya.

Meski pengaruh Islam sudah masuk Bima sejak pertengahan abad ke-16 dan rajanya pun sudah memeluk agama itu, Bima baru resmi menjadi kesultanan Islam setelah Sultan Abdul Kahir meninggal dunia dan digantikan oleh putranya, Sultan Abdul Khair Sirajuddin. Pada masa pemerintahan Sultan Bima II inilah (1635-1681), adat dan hukum Islam mulai diberlakukan secara umum. Hal ini berlangsung sampai masa pemerintahan Sultan Ibrahim, Sultan Bima XIII (1881-1915).

Setelah diakhirinya pemberlakuan syariat Islam, pengaruh Islam di Bima tak ikut surut. Siti Maryam menceritakan bagaimana Sultan Bima XIV, Sultan Salahuddin (1915-1951), tetap memiliki perhatian besar terhadap pendidikan Islam dengan mendirikan sekolah menengah Islam tingkat pertama dan atas. ”Sultan juga pernah mengirim para pemuda Bima ke Mekkah, Arab Saudi, untuk lebih mendalami ajaran Islam,” papar Siti Maryam, yang juga putri Sultan Bima terakhir.

”Menurut Tome Pires yang berkunjung ke Bima pada tahun 1513 Masehi, pada masa itu pelabuhan Bima ramai dikunjungi pedagang Nusantara. Pedagang Bima pun sudah berlayar menjual barang dagangannya ke Ternate, Banda, dan Malaka, serta singgah di setiap pelabuhan di Nusantara. Pada saat inilah, kemungkinan para pedagang Demak datang ke Bima, selain berdagang juga untuk menyiarkan agama Islam,” kata sejarawan dan Indonesianis Prancis Henry Chambert-Loir dalam bukunya, Bima dalam Sastra dan Sejarah.

Salah satu jejak peradaban Islam di Bima adalah Masjid Kesultanan Bima yang terletak di pusat Kota Bima. Masjid berusia tiga abad yang masih berdiri kokoh di tepi alun-alun kota, yang disebut warga setempat sebagai Lapangan Sera Suba, itu dibangun oleh Sultan Abdul Kadim Muhammad Syah, Sultan Bima VII, pada tahun 1737. Pembangunan selanjutnya dilakukan oleh putranya, Sultan Abdul Hamid, yang mengubah bentuk atap rumah ibadah itu menjadi atap bersusun tiga, mirip atap Masjid Menara Kudus di Jawa Tengah.

”Pada masa Perang Dunia II, masjid itu hancur akibat pengeboman pasukan Sekutu, tetapi kemudian dipugar oleh Sultan Muhammad Salahuddin, sultan Bima terakhir,” kata seorang warga Kota Bima. Karena itu, kini masjid itu dinamai Masjid Sultan Muhammad Salahuddin.

Tumbuh suburnya peradaban Islam di Bima terkait dengan adanya hubungan-hubungan kekerabatan, diplomatik, dan perdagangan antara kesultanan itu dengan kesultanan-kesultanan Islam lain di Kepulauan Nusantara, termasuk dengan kesultanan-kesultanan di Sulawesi Selatan. Konon, pada abad ke-16 Bima sudah menjadi salah satu pelabuhan dagang yang ramai di wilayah timur Nusantara.

Kalau begitu, bukan tak mungkin, di antara para pedagang Demak yang datang ke Bima untuk sekalian menyebarkan Islam itu ada juga para pembantu Sunan Kudus atau sunan lainnya dalam jajaran Wali Songo.

Sumber: travel kompas

Comments

Popular posts from this blog

Sejarah Perkembangan Lawas Sumbawa

Sumbawa (Samawa) mempunyai karya sastra lisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sejak zaman dahulu, salah satunya dalam bentuk puisi lisan. Puisi lisan yang dikenal dengan nama lawas merupakan media komunikasi dan ekspresi bagi masyarakat pemiliknya. Lawas sebagai fenomena budaya merupakan cerminan dari nilai-nilai yang hidup pada masyarakat di zamannya, karena itu nilai budaya tersebut sangat bersifat kontekstual. Lawas sebagai salah satu bentuk sastra lisan dalam masyarakat Sumbawa (Samawa) merupakan fenomena kebudayaan yang akan tetap hadir di tengah-tengah masyarakatnya. Cerminan nilai budaya daerah telah digunakan dalam mengembangkan budaya nasional, sehingga menempatkan sastra lisan sebagai bagian dari kebudayaan nasional yang harus dilestarikan. Maka sudah sepantasnyalah mendapatkan perhatian dari semua pihak untuk menindaklanjuti semua itu dalam berbagai bentuk kegiatan. Lawas telah dimanfaatkan secara luas oleh masyarakatnya dalam berbagai...

Teluk Saleh Sumbawa, Rumahnya Pulau-Pulau Indah

Teluk Saleh, Pantai, pasir putih, lautan biru dan keragaman biota laut, merupakan suguhan menarik bagi para pecinta wisata bahari. Ada banyak lokasi menarik untuk menikmati kekayaan alam tersebut, begitupun apabila anda sedang berada di Pulau Sumbawa. Salah satu lokasi menarik untuk anda kunjungi ketika berlibur ke Pulau Sumbawa adalah Teluk Saleh yang memiliki keragaman dan kekayaan alam mengaggumkan. Nama Saleh dari teluk ini adalah nama yang hingga kini tak dikenal asal usulnya, tidak terdapat dalam catatan sejarah, baik catatan kuno maupun modern. Dalam beberapa Atlas lama, nama Teluk Saleh disebut “ Sallee”. Tapi yang jelas nama Saleh bukanlah nama raja-raja yang pernah berkuasa di pulau Sumbawa. Bukan pula nama seorang tokoh terkenal di Sumbawa. Jadi nama Saleh dari teluk ini masih merupakan sebuah misteri. Dalam bentangan luas laut birunya yang berkilau, teluk ini dihiasai oleh pulau-pulau cantik tak bertuan. Ada beberapa diantaranya yang dihuni oleh suku Bajo dan Bugis yang ber...

Sejarah Hubungan Kesultanan Sumbawa Dengan Kesultanan Banjar

Sejarah Hubungan Kesultanan Sumbawa Dengan Kesultanan Banjar (foto:Google) Sejak masa kerajaan dahulu atau sekitar abad ke-17, penduduk yang mendiami suatu daerah telah berbaur dengan daerah lain. Bugis, Makassar, Bali, Lombok dan sebagainya. Oleh karena itu tidak asing bagi suatu daerah termasuk di Sumbawa, kita telah mengenal berbagai suku yang ada di dalamnya. Termasuk di antarnaya Banjar. Tapi apakah suku ini memiliki hubungan dengan suku Sumbawa? tentu membutuhkan penalaran sejarah untuk mengungkapnya. Berikut beberapa catatan kecil tentang hubungan kesultanan Sumbawa dengan kesultanan Banjar. Periode Pertama Menurut hikayat Banjar dan Kotawaringin, pada masa pemerintahan sultan Banjar, sultan Rakyatullah (1660-1663) sempat menjalin hubungan bilateral dengan kerajaan Selaparang melalui ikatan perkawinan Raden Subangsa (Raden Marabut) bin pangeran Martasinga keturunan sultan Hidayatullah I bin sultan Rahmatullah yang menikah dengan Mas Surabaya puteri Selaparang. Hasil perkawinan t...