Skip to main content

Runtuhnya Kejayaan Masa Lalu Maritim Bima


Wisatawan melintasi salah satu ruangan yang menyimpan diorama berbagai tokoh penjelajah dunia di Museum Bahari, Jakarta Utara. Dahulu, bangunan ini digunakan sebagai tempat penyimpanan dan pengemasan rempah-rempah oleh VOC. (Yunaidi/National Geographic Traveler)

Memudarnya kejayaan maritim Bima di masa lalu merupakan potret kemunduran tradisi bahari Nusantara.

Antropolog Bernice de Jong Boers (1994) menyebut, Bandar Bima, Nusa Tenggara Barat, pada masa lalu disinggahi kapal dari mancanegara.

Kejayaan Kerajaan Bima di masa lalu (seperti kerajaan-kerajaan lain di Nusantara) ditopang oleh kemampuan memproduksi sumber daya berbasis pertanian dan hasil hutan—serta penguasaan laut sebagai jalur perdagangan.

Adrian B Lapian (2008) menulis, Nusantara pada masa lalu adalah kerajaan-kerajaan kecil terpencar di pulau-pulau, dihubungkan aktivitas ekonomi dan kultural. Sewaktu-waktu, secara politis bergaubung dalam kesatuan lebih besar.

Komunikasi, lalu lintas antarpulau terjadi karena warganya mengembangkan jejaring maritim, didukung teknologi kapal, kemahiran navigasi dan semangat kewirausahaan kuat.

Dengan dominasi wilayah perairan, siapa pun yang menguasai jalur maritim, dia berkuasa.

Kerajaan Bima adalah penguasa wilayah timur Nusantara abad ke-17 hingga abad ke-19. Kekuatan Bima bertambah setelah bersekutu dengan Kesultanan Gowa di Sulawesi lewat pernikahan. Kekuasaan Bima meliputi bagian timur Pulau Sumbawa dan area barat Flores.

"Inilah bekas bendera angkatan laut Bima," ujar Siti Maryam (87), doktor filologi yang juga putri keenam Sultan Bima terakhir, Muhammad Salahuddin. Maryam menunjuk bendera lusuh, nyaris tanpa warga lagi, yang terpasang di dinding Museum Asi Mbojo, Bima. Didukung armada laut kuat, Bima berkuasa hingga ke Manggarai, Flores.

Kemajuan budaya dan ekonomi berbasis maritim saat itu juga dapat dilihat dari adanya undang-undang Bandar Bima, dalam Bo Kerajaan Bima, yang manuskripnya tersimpan di Museum Samparaja Bima. "Undang-undang itu mengatur soal pertanian, pemerintahan, hingga pelayaran," kata Maryam.

Undang-undang Bandar Bima, seperti halnya undang-undang laut Kesultanan Gowa, Amanna Gappa, memberi acuan para pelayar, misalnya syarat menjadi nakhoda, tata niaga, dan bagi hasil. "Anehnya," ujar Maryam, "Kini negara kita belum punya undang-undang maritim."

Kemunduran tradisi bahari dimulai sejak kedatangan bangsa Barat, terutama Belanda yang menguasai Nusantara hingga 3,5 abad. Pada Bima dan kerajaan lain di Sumbawa, kemunduran itu juga dipengaruhi letusan Tambora pada April 1815. Kerajaan Papekat dan Kerajaan Tambora musnah dikubur letusan gunung itu.

Bima pun kehilangan separuh jumlah warga. Letusan gunung api terbesar di Bumi dalam sejarah manusia modern itu menewaskan sekitar 91.000 orang di Sumbawa, Lombok, Bali.

Belanda memakai momen letusan gunung itu untuk kian menancapkan kekuasaan. "Belanda menyerahkan bekas wilayah Kerajaan Tambora ke Kesultanan Bima. Tetapi, penyerahan wilayah harus ditukar dengan wilayah Bima di Manggarai," jelas Maryam.

Bima yang semula merupakan wilayah kerajaan bahari lintas pulau menjadi kerajaan daratan. Dengan mendesak Bima ke daratan, kapal-kapal Belanda leluasa menguasai jalur pelayaran.

Pada 1857, Kesultanan Bima dipaksa menandatangani perjanjian dan kontrak pengakuan kekuasaan Hindia Belanda. Lalu Belanda menetapkan pajak bea cukai, pajak pelayaran, pajak ekspor, dan pajak penghasilan — menandai akhir kedaulatan Bima.

Kerajaan Bandar Bima tak kembali meski Belanda telah angkat kaki dari Nusantara.

Inilah potret Bandar Bima kini: pelabuhan kecil yang tak lagi melayani kegiatan ekspor-impor, tak memiliki industri pembuatan kapal, kekurangan armada kapal dan pelaut andal.

Jauh dari gambaran kejayaan masa lalu Bandar Bima.

(Ahmad Arif dan Hariadi Saptono, Sumber: Kompas)

Comments

Popular posts from this blog

Labaong Bukit Timbunan Tulang, Cerita Rakyat Dalam Sebuah Buku

Judul: Labaong Bukit Timbunan Tulang Pengarang: Soedjono Masdi Samidjo Tebal Buku: 93 Halaman Buku karya Soedjono Masdi ini menceritakan tentang legenda tentang seorang Puteri Raja yang terbuang menjadi tutur pinutur dari generasi ke generasi. Konon di sebuah bukit ia dikucilkan karena tubuhnya menjijikan. Sang puteri itu menyatu dengan bukit itu. La Gawa  adalah seorang yang disegani di wilayahnya (Sumbawa), dia juga pemimpin bajak laut Bintang Tiga. Para Kolonial sangat benci dengannya, begitupula dengan mertua La Gawa sendiri (Rangga). La Gawa tidak pernah mematuhi perintah yang diberikan oleh mertuanya karena ia tahu bahwa mertuanya hanya mengingikan jabatan tinggi di kerajaan. Suatu hari La Gawa diusir oleh mertuanya karena ia tanpa sengaja telah memukuli istrinya sendiri. La Gawa pun menggembara tanpa seorng istri di sampingnya (Lala Bueng).  La Gawa bertekad akan berkorban demi rakyat serta wilayah tempat tinggal istrinya. La Gawa dating ke Port Roterdam di Makasar untuk menemui

Asal Mula Batu Balo

Batu Balo adalah cerita rakyat yang berkembang di tengah masyarakat Desa Empang Bawa, Kecamatan Empang, Sumbawa. Pada zaman dulu tersebutlah seorang raja bernama Raja Kepe. Raja Kepe memiliki seorang putri yang sangat cantik bernama Dara Belang. Tibalah suatu hari, sang raja memiliki keinginan yang sangat kuat untuk menikahkan putrinya dengan seorang raja asal negeri Garegat bernama Balo Kuntung. Hal ini dilakukan karena Raja Kepe telah memiliki hubungan yang sangat baik dengan keluarga Balo Kuntung tersebut. Mengetahui hal itu, Dara Belang sangat senang, dia akan mengakhiri masa mudanya karena akan segera dipersunting oleh Balo Kuntung yang telah diketahuinya memiliki rupa yang sangat tampan dan tubuh perkasa. Dara Belang pun tidak sabar menunggu hari baik dalam hidupnya itu. Hingga suatu hari, tersiar kabar bahwa Balo Kuntung dan keluarga besarnya akan mengunjungi keluarga Raja Kepe. Tibalah hari yang dinantikan kedua pihak keluarga, Balo Kuntung beserta rombonganpun segera berlayar

'Lalu Dia Lala Jinis' Cerita Rakyat Dalam Sebuah Novel

Sebuah novel karya sastrawan sumbawa Dinullah Rayes ini menceritakan tentang perjuangan cinta antara putri dari kerajaan seran yang sangat cantik jelita Lala Jinis dengan seorang pangeran yang tampan asal negeri Alas Lalu Dia. Cerita rakyat ini telah ada sejak zaman dahuluu dan turun temurun dikalangan masyarakat. Bahkan beberapa waktu lalu cerita rakyat yang sarat akan perjuangan cinta ini, pernah ditampilkan dalam sebuah drama oleh sanggar seni Lonto Engal ditaman budaya mataram dan terbilang sukses. Lala Jinis adalah seorang putri raja Seran yang sangat cantik jelita, oleh karena itu banyak laki-laki yang mengidamkannya, tak terkecuali Ran Pangantan, seorang putra panglima besar di kerajaan Seran kala itu. Terpesona oleh kecantikan serta latar belakang keluarga lala jinis yang kaya raya, Ran Pangantan bersama ayahandannya pun melamar sang putri. Niat Ran pangantan untuk mempersunting Lala jinis lansung diterima oleh sang Raja dan permaisuri. Dari situlah penderitaan Lala Jinis dimul